BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Aqidah merupakan sumber energi manusia dalam menjalani
kehidupan, baik dalam urusan dunia, maupun urusan akhirat. hidup tanpa aqidah
bagaikan berlayar perahu tidak berdayung, otomatis saat itu juga akan tenggelam
ke lautan, maka dari itu, mari kita tingkatkan keiminan serta aqidah kita, agar
kita tetap berdiri kokoh dalam menjalani menegakkan agama islam.
1.2 Rumusan
Masalah
Adapun rumusan dalam penulisan
makalah ini adalah :
1. Menjelaskan Tradisi Sekaten
2. Menjelaskan Tradisi Grebeg Maulud
1.3
Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah
ini, meliputi beberapa hal diantaranya :
1. Memahami
salah satu tugas mata pelajaran SKI
2. Mengetahui
Tradisi Sekaten dan Grebeg Maulud
3. Semoga
bermanfaat bagi para pembaca sebagai tambahan pengetahuan
4. Belajar
mentafakuri perjuangan ulama terdahulu dalam mengembangkan agama islam yang
baik
1.4 Metode
Penulisan
Makalah ini menggunakan metode literature, yaitu suatu tekhnik
yang digunakan dengan cara mengutip data dari internet dan referensinya,
berhubungan dengan materi yang dibahas.
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Sekaten
Istilah
sekaten berasal dari kata syahadatain yang
berarti dua kalimat syahadat, yaitu Aku
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah
dan Nabi Muhammmad utusan
Allah. Penyelenggaraan perayaan sekaten
yang menjadi, mulai diselenggarakan pada
masa kerajaan Demak dibawah pimpinan Raden Patah
dengan bimbingan Wali Sanga. Acara sekaten
kemudian diteruskan oleh sultan Demak
selanjutnya yaitu Pati Unus lalu Sultan
Trenggono.
Walaupun
ada sedikit perbedaan pendapat tentang
apa yang menyebabkan sekaten pertama
kali dilakukan. Dapat ditarik
kesamaan bahwa sekaten dimulai pada masa
kerajaan Demak ketika pemerintahan Raden
Patah, untuk melestarikan tradisi perayaan
tahunan yang sudah ada pada masa Majapahit.
Hal tersebut mungkin karena Raden
Patah adalah anak raja terakhir
Majapahit, Prabu Brawijaya V, sehingga
ingin melestarikan tradisi warisan leluhurnya.
Ditambah sulitnya menghilangkan tradisi yang
sudah berakar di masyarakat waktu itu. Tapi
tradisi yang berasal dari masa Hindu-Budha Majapahit
itu dianggap tidak sesuai dengan islam,
maka atas kesepakatan dengan wali sanga,
tradisi itu disesuaikan dengan ajaran
islam, yaitu dilaksanakan pada bulan maulud
tanggal duabelas dengan maksud memperingati
hari kelahiran nabi Muhammmad. Masyarakatpun
menyambut dengan gembira, para wali sanga
kemudian memanfaatkan sekaten ini sebagai
cara memperkenalkan islam pada masyarakat.
Pada
perayaan sekaten, gamelan yang sangat
disukai masyarakat dijadikan alat musik, hal
ini menarik masyarakat untuk datang. Gamelan
sekaten masih menyisakan pertanyaan manakah gamelan
yang berasal dari warisan Prabu
Brawijaya V dan dari Sunan Klijaga,
karena kraton Yogyakarrta dan kraton Solo
memiliki sepasang gamelan. Gamelan Sekaten
sebagai pusaka kerajaan ikut berpindah
tangan mengikuti kekuasaan mulai dari
Demak, Pajang, Mataram lslam. Kemudian Mataram
lslam dipecah menjadi dua yaitu
Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan
Surakarta, gamelan sekaten juga dibagi dua.
Namun tidak dapat dipastikan manakah
yang mendapat Gong kiai Sekar Delima
warisan Brawijaya V dan Gong Kiai Sekati
warisan sunan Kalijogo. Penelitian hanya
menyebut karena gamelan harus sepasang maka
masing masing membuat gamelan baru sebagai
pasangannya. Di Yogyakarta Gamelan sekaten
diberi nama Kiai Guntur Madu dan
Kiai Nagawilo. Di Surakarta gamelan sekaten
diberi nama Gong Guntur Madu dan Kiai
Guntur Sari.
Masjid
agung Demak yang dibangun para wali menjadi
tempat penyelenggaraan sekaten. Kedatangan masyarakat
yang akan melihat perayaan sekaten kemudian
disambut para wali serta santrinya untuk
diperkenalkan agama islam. Sebelum masuk,
masyarakat diajari berwudhu, diteruskan membaca
kalimat syahadat, lalu masuk ke masjid
mendengarkan ceramah tentang agama islam.
Wali
sanga menggunakan sekaten sebagai sarana memperkenalkan agama
islam pada masyarakat Demak. Perayaan sekaten
turut andil dalam penyebaran agama lslam
di pulau Jawa. Para wali memanfaatkan
sekaten untuk penyebaran agama islam. Perayaan
sekaten turut mempercepat proses islamisasi
di pulau Jawa. Jadi sekaten digunakan untuk
menyampaikan ajaran islam melalui kebudayaan.
2.2Tradisi Sekaten
di Keraton Yogyakarta
Setelah
menjadi sultan di Ngayogyakarto
Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono
l, untuk pertama kalinya menyelenggarakan
upacara perayaan sekaten. Sultan
Hamengkubuwono l, yang mempunyai
perhatian terhadap tata cara dan
adat keraton bermaksud meneruskan tradisi
yang sudah ada sejak sebelumnya. Sekaten
pada masa Pemerintahan Hamengkubuwono l melibatkan
seisi keraton, aparat kerajaan, seluruh
lapisan masyarakat, dan mengharuskan
pemerintah kolonial berperan serta. Pada
masa tersebut rakyat hidup aman, tentram dan
sejahtera. Upacara kerajaan seperti
sekaten juga mencerminkan kemuliaan, kewibawaan
keraton, kehidupan, dan tingkat
kebudayaan keraton. Keraton berfungsi
sebagai pusat tradisi dan kebudayaan
Jawa. Perayaan
sekaten juga terus dilangsungkan oleh
sultan sesudahnya sampai sekarang pada
masa Sri Sultan Hamengkubuwonop
X. Walaupun dalam keadaan gawat
seperti ketika Belanda membuat kemelut
dengan menurunkan tahta Sri Sultan
Hamengkubuwono ll, digantikan Sri Sultan
Hamengkubuwono lll, sekaten tetap dilangsungkan.
Secara garis besar rangkaian
upacara sekaten adalah sebagai berikut;
-
Perayaan sekaten diawali dengan slametan
atau wilujengan yang bertujuan untuk
mencari ketenraman dan ketenangan. Slametan
ini dimulai dngan pembuatan uborampai sampai perlengkapan
gunungan. Ini juga sekaligus menandai pembukaan pasar
malam sekaten. Pada bagian ini masyarakat banyak
berkunjung untuk mencari hiburan atau membelui makanan
yang dijual.
-
Satu minggu sebelum puncak acara sekaten gamelan
dikeluarkan dari keraton dibawa ke Masjid
Agung, kemudian diletakkan di Pagongan
Utara dan Pagongan Selatan atau miyos
gongso. Selama satu minggu gamelan Kiai
Guntur Madu dan Kanjeng Kiai Ngawila
dibunyikan terus kecuali pada saat adzan dan
hari jumat.
-
Upacara numlak wajig yang bertempat
di magangan kidul. Upacara ini menandai
pembuatan gunungan wadon. Upacara numplak wajik
diiringi gejok lesung tujuannya agar pembuatan gunungan
wadon berjalan lancar.
-
Miyos Dalem di Masjid Agung Yogyakarta.
Acara ini dihadiri oleh Sultan, pembesar keraton,
para bupati, abdi dalem dan masyarakat,
selain itu juga dihadiri wisatawan yang
ingin menyaksikan. Pada acara ini dibacakan
riwayat hidup Nabi Muhammad Miyos Dalem
berakhir dengan Kondor Gongso atau
gamelan dibawa masuk lagi ke keraton.
-
Puncak acara dari perayaan Sekaten adalah grebeg maulid,
yaitu keluarnya sepasang gunungan dari Mesjid Agung seusai didoakan oleh ulama
Kraton. Masyarakat masih percaya bahwa siapapun yang mendapatkan gunungan
tersebut, akan dikaruniai kebahagiaan dan kemakmuran. Kemudian tumpeng
tersebut diperebutkan oleh ribuan warga masyarakat. Mereka meyakini bahwa dengan
mendapat bagian dari tumpeng akan mendatangkan berkah bagi mereka, karena
itu mereka saling berebut. Selain di
Yogyakarta grebeg maulud ini juga ada
di Surakarta, Banten dan Cirebon
Sekaten
tidak hanya menjadi milik kerajaan saja,
tetapi juga rakyat biasa. Bagi
sebagian besar masyarakat Yogyakarta baik
yang di perkotaan maupun pedesaan, dari
berbagai lapisan sosial, memandang sekaten
sebagai sesuatu yang penting dan merupakan
upacara khas kejawen dengan hikmah dan
berkah, merupakan kebanggaan daerah serta
mengingatkan pada sejarah kerajaan Mataram lslam
yang didirikan Panembahan Senopati.
Bagi
keraton, sekaten tetap di teruskan dan
memiliki makna tersendiri. Makna religius berkaitan
dengan kewajiban Sultan menyiarkan agama
lslam, sesuai dengan gelarnya, yaitu
Sayidin Panatagama yang berarti pemimpin
tertinggi agama. Dari sejarahnya berkaitan dengan
keabsahan Sultan dan kerajaannya
sebagai pewaris dari Panembahan Senopati
dengan kerajaan Mataram lslamnya dan
lebih jauh lagi masih keturunan raja-raja dari
masa kerajaan Hindu-Budha (Majapahit). Makna
kultural yaitu berkaitan dengan Sultan
sebagai pemimpin suku Jawa
Perkembangan
Sekaten Masa Kini
Pada mulanya,
fungsi sekaten merupakan media penyampaian
dakwah agama islam melalui kebudayaan oleh
wali sanga pada masa kerajaan Demak. Sekaten
merupakan pengganti dan penyesuaian tradisi yang
sudah ada sebelumnya. Jadi fungsi
utama sekaten sebagai syiar agama islam melalui
sarana kebudayaan. Para wali sanga dengan cerdas
memanfaatkan kebudayaan sebagai sarana dakwah.
Namun
sekarang dengan perubahan jaman, nilai itu
meluntur tapi tidak hilang, juga lebih
menonjolkan fungsi baru yaitu sisi komersil,
ekonomi dan hiburan. Salah satu sisi baru
dari sekaten yang menonjol adalah dilihat secara
ekonomi. Yaitu penyelenggaraan sekaten dikemas dalam
Pasar Malam Perayaan Sekaten atau
biasa disingkat PMPS, yang dimulai sejak
pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Pasar
malam ini diselenggarakan selama sebulan di
alun-alun selatan dengan berbagai
hiburan, stan penjualan, stan promosi, makanan-minuman,
pertunjukan seni. Pasar malam selama
sebulan di alun-alun selatan menjadi semacam
pesta bagi rakyat. Di pasar malam
sekaten terdapat hiburan rakyat yang sulit
ditemui seperti ombak banyu, tong setan
dan berbagai permainan lainnya. Pada hiburan
seperti itu antusiasme masyarakat cukup tinggi, karena
permainan seperti itu sulit ditemui dan kebutuhan
akan hiburan.
Perubahan
dan perkembangan penyelenggaraan sekaten, juga
bergesernya makna sekaten tidaklah mengapa karena tidak
menghilangkan esensi sekaten. Perubahan tersebut
tak terelakkan karena perubahan cara
berpikir masyarakat, perubahan kebutuhan dan berubahnya
jaman. Perkembangan sekaten juga menyesuaikan
dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.
Perubahan ini menguntungkan dan memberi
manfaat pada banyak pihak.
Penyelenggaraan
sekatenpun menjadi aset pariwisata daerah. Sekatenpun
menjadi wisata tidak hanya bagi warga
Yogyakarta saja tapi juga dari luar Yogyakarta, t
terbukti ketika perayaan sekaten banyak
wisatawan dari luar daerah yang datang ke
Yogyakarta untuk melihat sekaten. Ini
menunjukkan bahwa sekaten merupakan aset wisata
yang menarik.
Dari
sisi ritual, sekaten tetap terpelihara, dan
masih mendapat perhatian terutama oleh generasi
tua. Bagi masyarakat terutama generasi tua
yang masih percaya memaknai sekaten sebagai
sarana mencari berkah, sehingga merka
berebut gunungan.
Sekaten
merupakan wujud akulturasi kebudayaan yang
terus bertahan dan berkembang melewati berbagai
jaman sampai sekarang, maka harus tetap
dilestarikan. Sekaten merupakan fenomena budaya
yang unik, menarik dan langka yang
berkaitan dengan berbagai hal. Sekaten juga
mngandung berbagai makna. Makna lama sudah
semakin memudar tapi muncul makna baru
dari sekaten. Sekaten juga mendatangkan
manfaat bagi banyak orang.
Penyelenggaraan
sekaten penting, kerena memang dibutuhkan dan
menguntungkan banyak pihak, dan berkaitan
dengan banyak aspek. Sekaten di Yogyakarta
ini menarik untuk dipelajari.
2.3 Grebeg Maulid
Grebeg
Maulud adalah upacara tradisional yang telah berlangsung turun temurun dan mendapatkan
perhatian luas dari warga Yogyakarta dan sekitarnya. Acara Grebeg Maulud yang
sudah digelar beberapa bulan kemarin sedikit berbeda, upacara tradisional
Gregeg Maulud tahun ini Gunungan yang dikirap ditambah satu Gunungan yang
diberi nama Gunungan Bromo karena bertepatan dengan tahun Dal (tahun dalam
kalender jawa).
Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat selama setahun menyelenggarakan upacara tradisional
Grebeg Besar sebanyak tiga kali yaitu Grebeg Syawal diselenggarakan bertepatan
dengan Hari Raya Idul Fitri, Grebeg Besar bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha
dan Grebeg Maulud atau bertepatan dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad
SAW.
Upacara
tradisional Grebeg Maulud ini berupa iring-iringan Gunungan Lanang, Wadon,
Gepak, Pawuhan dan Dharat yang dikeluarkan dari dalam Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat melewati Siti Hinggil, Pagelaran, Alun-Alun Utara hingga berakhir
di halaman Masjid Gede Kauman Yogyakarta. Iringan "Gunungan" tersebut
dikawal oleh sembilan pasukan prajurit keraton, di antaranya prajurit
Wirobrojo, Ketanggung, Bugis, Daeng, Patangpuluh, Nyutro. Mereka mengenakan
seragam dan atribut aneka warna dan membawa senjata tombak, keris serta senapan
kuno.
Ribuan warga
Yogyakarta dan sekitarnya serta wisatawan mancanegara sejak pagi sudah mulai
memadati alun-alun utara. Dengan berdesak desakan ribuan pasang mata ini
melihat kirab gunungan Grebeg Maulud yang mulai bergerak dari Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat menuju Alun-Alun Utara dan berakhir di Masjid Gedhe.
Selanjutnya
sejumlah "gunungan" dibawa ke Masjid Agung/Besar Kauman Yogyakarta,
untuk diberkati dan didoakan oleh penghulu keraton. Kemudian
"gunungan" itu menjadi rebutan warga yang sudah sejak pagi menunggu
di halaman masjid tersebut. Sedangkan satu gunungan dibawa menuju Pura Pakualaman
dengan dikawal prajurit tradisional dan kemudian menjadi rebutanratusan warga setempat.
Mereka yang memperoleh bagian dari "gunungan" tersebut masih
mempercayai bahwa sedekah Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan
Hamengku Buwono X tersebut akan membawa berkah bagi kehidupan mereka.
Grebeg maulud
dilaksanakan padan tanggal 12 bulan maulud,
tujuannya untuk memperingati kelahiran nabi
Muhammad. Mereka yang berebut gunungan itu
berkeyakinan bahwa dengan turut berpartisipasi merayakan hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW akan mendapat imbalan pahala dari Yang Maha Kuasa, dan dianugerahi
awet muda. Sebagai Srono (syarat)nya, mereka harus mengunyah sirih di
halaman Masjid Agung, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan sekaten.
Oleh karenanya, selama diselenggarakan perayaan sekaten itu, banyak orang
berjualan sirih dengan ramuannya, nasi gurih bersama lauk-pauknya di halaman
Kemandungan, di Alun-alun Utara maupun di depan Masjid Agung Jogjakarta.
Bagi para petani, dalam kesempatan ini memohon pula agar panenannya yang akan
datang berhasil. Untuk memperkuat tekadnya ini, mereka memberi cambuk (pecut)
yang dibawanya pulang.
BAB 3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Istilah sekaten
berasal dari kata syahadatain yang berarti dua
kalimat syahadat, yaitu Aku bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah
dan Nabi Muhammmad utusan
Allah. Penyelenggaraan perayaan sekaten
yang menjadi, mulai diselenggarakan pada
masa kerajaan Demak dibawah pimpinan Raden Patah
dengan bimbingan Wali Sanga. Acara sekaten
kemudian diteruskan oleh sultan Demak
selanjutnya yaitu Pati Unus lalu Sultan
Trenggono.
Grebeg
Maulud adalah upacara tradisional yang telah berlangsung turun temurun dan
mendapatkan perhatian luas dari warga Yogyakarta dan sekitarnya. Acara Grebeg
Maulud yang sudah digelar beberapa bulan kemarin sedikit berbeda, upacara
tradisional Gregeg Maulud tahun ini Gunungan yang dikirap ditambah satu
Gunungan yang diberi nama Gunungan Bromo karena bertepatan dengan tahun Dal
(tahun dalam kalender jawa).
3.2 SARAN
Karena
keterbatasan ilmu yang kami miliki, Kami menerima saran dan keritik yang
sifatnya konstruktif dan sifatnya membangun dari semua pihak yang membaca
Makalah ini, agar Makalah ini akan lebih sempurna di kemudian hari.
0 komentar:
Posting Komentar