Pages

Jumat, 14 Februari 2014

Iman Kepada yang Haq

Kita sebagai orang yang memeluk agama Islam tidak boleh berpuas diri dengan predikat seorang Muslim. Karena keislaman seseorang tidak cukup untuk dapat menurunkan pertolongan Allah dalam kehidupan kita di dunia. Keislaman juga belum tentu bisa menyelamatkan kita dari siksa api neraka. Hanya orang-orang yang beriman sejati yang mendapatkan semua janji2Nya yaitu kebahagian dunia dan akhirat.
Bagaimanakah kriteria atau ciri-ciri orang-orang beriman yang sering dipanggil Allah dengan mesra “…yaa ayyuhal ladzina aamanu…..” ? Allah yang Maha Pengasih telah menyebutkan di dalam Al Quran surat Al Anfal :2-4
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.
Dalam firman Allah SWT tersebut jelas sekali menyebutkan bahwa seorang mukmin yang Haq, yang benar-benar tulen, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut>
1. Hatinya yang gemetar hatinya bila disebutkan Asma Allah
Gemetarnya bisa disebabkan karena banyak hal, karena kagum dan takluk pada Kebesaran Allah. Kebesaran dan Kemuliaan Dzat , Sifat maupun PerbuatanNya. Bisa juga karena takut terhadap siksa api neraka yang sangat pedih dan terbayangkan dosa dan kebodohan yang telah dilakukan. Bisa juga gemetar karena berharap karunia surga – dunia maupun akhirat-. Terkadang gemetar haru mengingat sifat Kasih Sayang dan PengampunNya ataupun gemetar hati karena melihat Kebesaran ciptaanNya.
Asma Allah yang disebutkan dalam Al Quran dan hadits biasa disebut dengan 99 Asmaul Husna (bahkan lebih dari itu) menunjukkan Sifat-Sifat Allah yang Agung yang wajib kita ketahui, fahami dan hayati maknanya. Pemahaman atas makna dan tafakkur pada ciptaan2Nya dan Kebesaran Asma-asma Allah itulah yang dapat menghantarkan seseorang pada “wajilat quluubukum”
2. Keimanannya bertambah bila dibacakan ayat-ayat Tuhan
Ayat dalam bahasa Arab artinya bukti. Orang-orang yang imannya tulen bila dihadapannnya dibacakan ayat Al Quran (dalil naqli) ataupun bukti aqli yang berupa demonstrasi Kebesaran Allah dalam penciptaan makhluk-makhlukNya maka bibirnyapun berucap “ Subhanallah…”. Bila membaca Al Quran yang menyebutkan tentang janji-janji Allah keimanannya bertambah, semangat hidupnya makin membara dan semakin giat beramal shalih.
Dan bila dia melihat Kebesaran Allah dalam penciptaan langit , buni dan jagad raya alam semesta maka diapun makin tunduk dan kagum pada Kuasa Allah. Bahkan ketika melihat betapa sempurna dan hebatnya pasukan-pasukan Allah yang berupa misalnya lebah lebah dan madu yang dihasilkan, maka diapun makin yakin dan kagum pada Allah.
Hari-hari orang beriman tidak pernah ada yang menjemukan. Setiap detik yang dilalui dipakai untuk “melihat” demonstrasi Kekuasaan Allah, bertafakkur dan kemudian bertasbih kepada Allah. Dan itu semua makin meningkatkan imannya.
3. Bertawakkal hanya kepada Allah
Bagi orang yang imannya Haq, tidak pernah ada rasa takut dan gentar menghadapi pernak-pernik dan badai di dalam kehidupan dunia. Ketergantungannya kepada Allah dan keyakinan bahwa Allah selalu menuntun dan melindunginya menjadikan langkahnya pasti menapaki roda kehidupan.
…. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
Putus asa tidak ada dalam kamus hidupnya. Hidup dijalani dengan lapang dan mudah karena jalan keluar dalam tiap masalah, insya Allah ada. Dan rezeki juga sudah ditanggung oleh Allah Azza wa Jalla.
4. Mendirikan Shalat
Mereka ini adalah orang-orang yang gandrung shalat. Shalat menjadi obat segala masalah kehidupan. Persis seperti yang disabdakan junjungan kita Rasulullah SAW :
Apabila engkau mempunyai masalah maka shalat (sunnah) lah 2 rakaat” (HR Bukhari)
Mereka ini bukan sekedar melakukan shalat tapi mendirikannya. Menjaga rukun-rukunnya, waktunya, sunnah-sunnahnya dan juga kekhusyuannya. Shalat merupakan saat-saat yang indah bermunajat kepada Allah, mengadukan beban hidup, memohonkan kemudahan hidup di dunia dan juga kemuliaan hidup di akhirat. Shalat tidaklah menjadi beban bagi mereka bahkan shalat merupakan saat beristirahat dari keruwetan hidup. Dan tepatlah sabda Rasulullah saat menyuruh Bilal adzan dengan berkata : “Wahai Bilal, berilah istirahat kepada kita semua!”
Dan bukti mereka mendirikan shalat adalah akhlaknya di luar shalat. Mengapa ? Karena shalat itulah yang menghalangi mereka berbuat maksiat dan mungkar. Semakin baik mutu shalat maka semakin tinggilah akhlak seseorang
5. Menafkahkan rezeki yang dipunyai
Ciri terakhir seorang mukmin yang tulen adalah mudahnya dia bersedekah. Baginya harta karunia Allah yang didalamnya ada hak fakir miskin. Sedekah adalah tanda syukur kepada Allah kerena diberi kelapangan dalam harta. Tapi dia juga bersedekah dalam keadaan sempit karena jalan kemudahan akan datang dengan derasnya sedekah. Hati orang yang mukmin tidak terikat oleh harta yang dimiliki. Harta diletakkannya di tangan bukan di hati
Demikianlah ciri-ciri seorang mukmin yang Haq, yang tulen. Dan mukmin sejati inilah yang mendapatkan janji Allah yaitu kemuliaan derajat, pengampunan dosa-dosa dan rezeki yang halal dan berkah.
Semoga bahasan ini bisa menjadi jalan intropeksi bagi diri kita masing-masing. Apakah kita sudah mempunyai 5 ciri-ciri di atas ? Bila sudah, kita harus mensyukuri dan meminta Allah mengekalkan sifat-sifat mulia ini dalam diri kita. Bila kita belum memiliki 5 ciri ini maka kita perlu berusaha semaksimal mungkin agar kita bisa menjadi seorang mukmin sejati, yang dicintai Allahu Rabbi.

Pentingnya Menghafal dan Memahami Al Quran

Al Quran diturunkan kepada Muhammad Rasulullah SAW selama 23 tahun masa kerasulan beliau. Al Quran di turunkan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah SAW dengan perantaraan malaikat Jibril. Malaikat Jibril menurunkan Al Quran ke dalam hati Rasulullah dan beliaupun langsung memahaminya. Hal ini disebutkan dalam Al Quran surat Al Baqarah (2) : 97.
qs-2-97.gif
Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”
Kemudian Rasulullah SAW mengajarkan Al Quran itu kepada para shahabatnya. Mereka menuliskannya di pelepah daun daun kering, batu, tulang dll. Pada saat itu belum ada kertas seperti zaman modern sekarang ini. Kemudian para shahabat langsung menghafalnya dan mengamalkannya. Demkian Al Qur;an di ajarkan kepada para shahabat-shahabat yang lain. Al Quran difahami dengan menghafal. Bukan dengan sekedar membaca.
Pada saat Rasulullah telah wafat, banyak terjadi peperangan. Dalam peperangan Yamamah misalnya , banyak para sahabat pemghafal Quran yang syahid. Melihat kondisi ini Umarpun meminta Abu bakar sebagai khalifah untuk membuat Mushaf Al Quran. Abu bakar sempat menolak. „ Apakah engkau meminta aku untuk melakukan apa yang Rasulullah tidak lakukan ?“ ujar beliau. Tapi dengan gigih Umar bin Khattab menjelaskan urgensinya pembuatan Mushaf bagi kepentingan kaum muslimin di masa yang datang. Akhirnya Abu Bakarpun dapat diyakinkan dan kemudian setuju dengan ide Umar bin Khattab.
Abu Bakarpun lalu meminta Zaid bin Haritsah untuk melakukan tugas ini. Zaid bin Haritsah pun sempat berkata : „ Apakah engkau meminta aku untuk melakukan apa yang Rasulullah tidak lakukan ?“. Tapi akhirnya Zaidpun setuju dan mulai mengumpulkan shahifah-sahhifah yang tersebar di tangan para shahabat yang lain. Batu, daun-daun kering, tulang dll itupun disimpan di rumah Hafsah.
Barulah pada zaman Khalifah Utsman bin Affan, Mushaf Al Quran selesai sebanyak 5 buah. Satu disimpan Utsman dan 4 yang lain disebar ke : Makkah, Syria, Basrah dan Kufah. Jadi pada saat itu para shahabat, tabi’it dan thabi’i tabiin mempelajari al Quran dengan menghafal karena jumlah Mushaf yang sangat sedikit.
Bagaimana dengan kondisi zaman sekarang? Bila kita perhatikan di sekitar kita, diantara teman-teman dan keluarga kita, ada berapa persen diantara mereka yang hafal Al Quran ? Berapa persen yang sedang menghafal Al Quran? Mungkin kita susah memberikan persentase karena dihitung dengan jari-jari tangan kita belum tentu genap semuanya.
Kaum muslimin saat ini masih cukup berpuas diri dengan membaca Mushaf Al Quran dan tidak memahami maknanya. Padahal membaca Al Quran baru langkah awal interaksi Al Quran. Al Quran sebagai petunjuk bagi kita tidak cukup dibaca tapi juga dihafal dan difahami.
Mungkin ada sebagian yang berkata mengapa perlu menghafal ? Tidakkah cukup dengan membaca Mushaf dan membaca tarjemahan ? Ternyata tidak cukup. Dengan menghafal Al Quran ada „rasa“ (atau zauk) yang diberikan Allah kepada hati kita. Rasa ini didapat karena ayat-ayat yang dibaca berulang-ulang. Pengulangan kalam-kalam suci itulah yang menjadi „makanan“ untuk hati. Dan sesuai dengan ayat di Al Baqarah : 97 diatas, Al Quran itu diturunkan di hati Nabi Muhammad. Bukan di akal fikiran beliau. Artinya Al Quran itu konsumsi/makanan hati bukan sekedar fikiran.
Rasa inilah yang menjadikan kita nikmat mengenal Allah, memahami kehendakNya dan ringan melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala laranganNya. „ Rasa „ ini kurang ada juga sedikit ketika kita hanya membaca. Apalagi bila membacanya tidak diiringi dengan pemahaman artinya. Dan membaca tidak diulang-ulang. Efeknya sangat berbeda dengan mengulang-ulangnya.
Kaum muslimin saat ini cukup berpuas diri dengan membaca „buta“ Al Quran dan menimba ilmu dari para ustadz, kiai dan pemuka-pemuka agama. Tanpa menghilangkan rasa hormat kepada para penyampai-penyampai risalah agama, kita sebagai hamba Allah, secara individual juga mempunyai kewajiban berusaha memahami Al Quran dari aslinya langsung dari firman-firmanNya.
Bila kita menghafal dan mentadaburi Al Quran maka Allah akan mengajarkan kepada kita pengetahuan melalui hati kita dengan perantaraan ilham. Seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat Asy Syams ayat 8-10:
qs-91-8-10.gif“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.“

Ilham ini dapat dirasakan dengan dalam hati kita. Bukankah kita pernah bingung tentang suatu masalah, kemudian pada suatu saat kita, „cling“ mememukan cara untuk menyelesaikan masalah dengan baik. Itulah ilham.
Atau ilham itu sebagai furqan atau pembeda mana-mana amal yang haq dan mana-man yang bathil. Sebagai misal ketika kita masuk ke tempat maksiat maka hati kita akan terasa tidak enak, tidak nyaman. Itulah peringatan dari hati kita yang bersih. Furqan inilah yang dibutuhkan di dalam kehidupan ketika berperang dengan bisikan-bisikan syaithan yang membujuk-bujuk kita untuk berbuat maksiat dengan iming-iming duniawi yang menggiurkan. Karena itu sangatlah kita memerlukan furqan yang menjadikan kita mantap mengetahui yang haq dan yang bathil. Seperti disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam surat Al Anfaal ayat 29:
qs-8-29.gif
Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. dan Kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Al Quran juga sebuah petunjuk/pedoman hidup bagi kita kaum muslimin :

Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
(QS Al Baqarah : 2)
Jadi intinya Al Qu’an adalah pedoman hidup. Tapi hanya segelintir orang yang hafal dan faham Al Quran. Bagaimana Al Quran bisa menjadi pedoman hidup seorang muslim secara individual bila membaca dan memahaminya secara tuntas saja belum dilakukan ? Dan banyak diantara kaum muslimin yang meninggal dalam keadaan belum pernah membaca dengan tuntas Al Quran.
Bayangkan apabila kita akan pergi ke puncak Gunung Semeru. Sebelum pergi kita dibekali dengan peta, rambu-rambu dan petunjuk-petunjuk oleh seorang pendaki gunung profesional. Tetapi kita tidak memahami petunjuk-petunjuk tersebut. Apakah kita dijamin akan sampai di puncak gunung semeru dengan selamat ? Kita mungkin lebih senang bertanya dengan penduduk setempat. Bila kita bertemu dengan penduduk yang sangat kenal gunung semeru mungkin kita akan sampai dengan selamat. Tetapi bila orang kita tanya juga kurang faham jalan ke puncak gunung, akankah kita sampai ke puncak dengan selamat atau mungkin kita bisa tersesat ? Padahal bila kita memahami, petunjuk, peta dan juga bertanya maka kita akan mendapat jalan pintas untuk sampai ke puncak gunung.
Memang solusi pemahaman Al Quran ini tidak akan dapat berhasil bila sistem pendidikan agama tidak berjalan intensif sejak dini. Sebagai permisalan, bahasa Inggris diajarkan sejak SD. Maka kita lihat ketika lulus SMA para mahasiswa sudah bisa belajat dari diktat berbahas Inggris. Bila sistem ini diterpakan juga untuk bahasa Arab (sebagai media inti pemahaman Al Quran) maka ketika berumur 20-25 seorang muslim sudah mulai bisa memahami Al Quran dengan mandiri.
Wahai saudara-saudaraku kaum muslimin, memahami Al Quran bukan fardhu kifayah yang dibebankan kepada ulama, kiai atau ustadz. Tapi seperti dicontohkan oleh para sahabat, membaca, menghafal, memahami dan melaksanakan Al Quran dilakukan sebagai kewajiban indivial setiap kaum muslimin. Bila secara individu seorang muslim meningkat kualitasnya, keluarga yang dibinanya juga akan berkulaitas sehingga akhirnya sebuah masyarakat madani yang dirindukan selama ini juga dapat terwujud.
Demikianlah renungan kita tentang Al Quran. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayahNya kepada kita semua sehingga kita menjadi orang-orang yang mencintai Al Quran, membacanya, menghafalkannya, memahaminya dan mengamalkannya.
Wallahu alam bi shawab

3 Cara Allah SWT Mengawasi

Karena taku didatangi pencuri, maka warga suatu perumahan menyewa penjaga atau hansip. Tetapi terkadang pencurian masih terjadi walau hansip sudah dibayar. Hal ini bisa terjadi bila hansip tersebut lengah atau ketiduran, sehingga si pencuri bisa melakukan aksinya. Hansip juga manusia!
Bagaimana dengan Yang Maha Mengetahui? Allah SWT mengawasi manusia 24 jam sehari atau setiap detik tidak ada lengah. Didalam melakukan pengawasan, ada 3 cara yang dilakukan Allah SWT:

1

Allah SWT melakukan pengawasan secara langsung. Tidak tanggung-tanggung, Yang Menciptakan kita selalu bersama dengan kita dimanapun dan kapanpun saja. Bila kita bertiga, maka Dia yang keempat. Bila kita berlima, maka Dia yang keenam (QS. Al Mujadilah 7). Bahkan Allah SWT teramat dekat dengan kita yaitu lebih dekat dari urat leher kita. qs-qaaf-16.gif
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaaf 16)

2

Allah SWT melakukan pengawasan melalui malaikat.
qs-50-17.gif
“ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.” (QS. Qaaf 17)
Kedua malaikat ini akan mencatat segala amal perbuatan kita yang baik maupun yang buruk; yang besar maupun yang kecil. Tidak ada yang tertinggal. Catatan tersebut kemudian dibukukan dan diserahkan kepada kita (QS. Al Kahfi 49).

3

Allah SWT melakukan pengawasan melalui diri kita sendiri. Ketika kelak nanti meninggal maka anggota tubuh kita seperti tangan dan kaki akan menjadi saksi bagi kita. Kita tidak akan memiliki kontrol terhadap anggota tubuh tersebut untuk memberikan kesaksian sebenarnya.
qs-36-65.gif
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. Yaasiin 65)
Kesimpulannya, kita hidup tidak akan bisa terlepas dimanapun dan kapanpun saja dari pengawasan Allah SWT. Tidak ada waktu untuk berbuat maksiyat. Tidak ada tempat untuk mengingkari Allah SWT. Yakinlah bahwa perbuatan sekecil apapun akan tercatat dan akan dipertanyakan oleh Allah SWT dihari perhitungan kelak.
Wallahu a’lam bish showab.

Membiasakan Berbuat Baik

Dalam suatu hadits qudsi, Allah SWT berfirman “Jikalau seseorang hamba itu mendekat padaKu sejengkal, maka Aku mendekat padanya sehasta dan jikalau ia mendekal padaKu sehasta, maka Aku mendekat padanya sedepa. Jikalau hamba itu mendatangi Aku dengan berjalan, maka Aku mendatanginya dengan bergegas.” (HR. Bukhari)
Didalam melihat jalan hidup masyarakat di sekitar kita, bisa kita lihat bahwa beberapa orang mempunyai kecenderungan tertentu. Orang yang terbiasa berbuat maksiyat, maka dari hari kehari dia akan semakin terjerumus kedalam lembah yang hitam. Sebaliknya orang yang suka sholat berjamaah ke masjid, maka dia akan ramah ke tetangganya, rutin berinfaq dan bahagia kehidupan keluarganya.
Semakin seseorang memperbanyak dan membiasakan berbuat baik, maka semakin banyak terbuka pintu-pintu kebaikan yang lain. Hal ini sesuai dengan hadits qudsi diatas bahwa semakin tinggi intensitas dan kualitas ibadah kita kepada Allah SWT maka semakin dekatlah kita dengan-Nya.
Salah satu kunci kesuksesan hidup kita adalah bagaimana kita membiasakan berbuat baik. Semakin kita terbiasa berbuat baik, maka semakin mudah jalan kita untuk mencapai kebahagiaan hidup. Agar manusia terbiasa beribadah, maka beberapa ibadah dilakukan berulang dalam kurun waktu tertentu seperti sholat lima kali dalam sehari, puasa sunnah dua kali seminggu dan sholat jum’at sekali sepekan.
Permasalahan awal yang biasanya ditemukan dalam melakukan sesuatu yaitu dalam memulainya. Memulai suatu aktifitas terkadang lebih berat dibandingkan ketika melaksanakannya. Maka ketika kita mendorong mobil yang mogok, akan diperlukan tenaga yang besar saat sebelum mobil bergerak. Setelah mobil tersesebut bergerak, diperlukan daya dorong yang kecil. Ada juga sifat kita yang menunda perbuatan baik, padahal perbuakan baik janganlah ditunda. Kalau kita ada keinginan untuk menunda, maka tundalah untuk menunda. Hal ini seperti yang disampaikan Rasulullah saw:
“Bersegeralah untuk beramal, jangan menundanya hingga datang tujuh perkara. Apakah akan terus kamu tunda untuk beramal kecuali jika sudah datang: kemiskinan yang membuatmu lupa, kekayaan yang membuatmu berbuat melebihi batas, sakit yang merusakmu, usia lanjut yang membuatmu pikun, kematian yang tiba-tiba menjemputmu, dajjal, suatu perkara gaib terburuk yang ditunggu, saat kiamat, saat bencana yang lebih dahsyat dan siksanya yang amat pedih.” (HR. Tirmidzi)
Salah satu cara untuk mempermudah kita dalam memulai suatu amal ibadah adalah dengan mengetahui akan besarnya manfaat yang akan dirasakan. Segala hambatan atau godaan untuk tidak melaksanakan kebaikan tersebut akan bisa dilewatkan dengan keyakinan yang kuat. Oleh sebab itu, kita wajib untuk mencari ilmu tentang fadhilah (kelebihan) dari suatu amalan atau ibadah. Bahkan untuk menguatkan hati, kita juga perlu mencari ilmu secara berulang kali. Bahkan beberapa pengulangan dalam Al Quran digunakan agar manusia semakin ingat.
“Dan sesungguhnya dalam Al Quran ini Kami telah ulang-ulangi (peringatan-peringatan), agar mereka selalu ingat. Dan ulangan peringatan itu tidak lain hanyalah menambah mereka lari.” (QS. Al Israa’ 41)
Jadi, mulailah perbuatan baik yang ingin anda lakukan sekarang dan jangan ditunda. Kalau belum yakin, perluas dan perdalam ilmu agar kita semakin yakin.
Wallahu a’lam bish showab.

Berdoa di Bulan Ramadhan

Aturan untuk shoum di bulan Ramadhan telah ditetapkan Allah SWT dalam surat Al Baqarah dari ayat 183 sampai ayat 187. Hampir seluruh ayat tersebut terdapat kata-kata shoum:
  • (Al Baqarah 183)
  • (Al Baqarah 184)
  • (Al Baqarah 185)
  • (Al Baqarah 187)
Hanya ayat 186 yang tidak mengandung kata shoum:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
Peletakan ayat ini diantara ayat-ayat tentang shoum Ramadhan bukan tanpa maksud. Kalau ditilik dari asbabun nuzul ayat ini adalah berkenaan dengan datangnya seorang Arab Badui kepada Nabi SAW yang bertanya: “Apakah Tuhan kita itu dekat, sehingga kami dapat munajat/memohon kepada-Nya, atau jauh, sehingga kami harus menyeru-Nya?” Nabi SAW terdiam, hingga turunlah ayat ini. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Marduwaih, Abussyaikh dan lain-lain).
Menurut riwayat lain, ayat ini turun berkenaan dengan sabda Rasulullah SAW: “Janganlah kalian berkecil hati dalam berdoa, karena Allah SWT telah berfirman ‘Ud’uni astajib lakum’ (berdoalah kamu kepada-Ku, pasti aku mengijabahnya)” (QS 40:60). Berkatalah salah seorang di antara mereka: “Wahai Rasulullah! Apakah Tuhan mendengar doa kita atau bagaimana?” Sebagai jawabannya, turunlah ayat ini (Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir yang bersumber dari Ali.)
Menurut Sayyid Qutb dalam kitabnya Fii Zhilalil Quran, Allah menjawab langsung tentang keberadaanNya yang sangat dekat dan langsung berfirman bahwa Dia akan mengabulkan segala doa kita. Dalam ayat ini juga terdapat tiga syarat untuk diterimanya suatu doa. Pertama, doa tersebut harus dipanjatkan kepada-Nya secara langsung. Jadi janganlah kita berdoa kepada mahluk Allah seperti jin, makam atau pohon. Dan kalaupun berdoa akan lebih baik apabila doa tersebut diucapkan secara langsung kepada-Nya. Syarat kedua dalam berdoa adalah kita harus memenuhi segala perintah Allah SWT. Seperti ketika seorang anak sebaiknya mengikuti nasehat/perintah orang tuanya untuk mendapatkan yang diinginkannya. Sedang syarat ketiga adalah kita harus beriman kepada-Nya agar doa kita diterima.
Walaupun ayat 186 ini tidak mengandung kata shoum, tapi penempatan ayat ini menunjukkan pentingnya kita berdoa pada bulan Ramadhan. Hal ini sesuai dengan hadits nabi SAW:
“Orang yang berpuasa memiliki doa yang mustajab pada waktu berbuka.” (Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud)
Atau dalam hadits lain, nabi SAW bersabda:
“Ada tiga orang yang tidak akan ditolak doanya yaitu pemimpin yang adil, orang yang berpuasa sehingga dia berbuka dan orang yang dianiaya. Doa mereka diangkat oleh Allah di bawah awan pada hari kiamat dan dibukakan untuknya pintu-pintu langit dan Allah berfirman, ‘Demi keagungan-Ku, Aku akan menolongmu walaupun sesudah suatu waktu’” (Riwayat Imam Ahmad, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah)
Demikianlah, urgensi dari berdoa dalam bulan Ramadhan karena hal itu meningkatkan kemungkinan doa kita diterima. Maka perbanyaklah kita berdoa dalam bulan Ramadhan. Semoga Allah SWT menerima doa kita.
Wallahua’lam bish showab.

Tiga Nasehat

Rasulullah SAW pernah memberikan tiga buah nasehat kepada kedua sehabatnya Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdurrahman bin Jabal:

“Bertakwalah kamu kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutilah kesalahanmu dengan kebaikan niscaya ia dapat menghapuskannya. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak terpuji.” HR. Tirmidzi
Tiga pesan Rasulullah SAW tersebut layak untuk kita perhatikan karena sangat berkaitan erat dengan kehidupan kita sehari-hari.
1- BERTAQWA DIMANA SAJA
Definisi dari kata taqwa dapat dilihat dari percakapan antara sahabat Umar dan Ubay bin Ka’ab ra. Suatu ketika sahabat Umar ra bertanya kepada Ubay bin Ka’ab apakah taqwa itu? Dia menjawab; “Pernahkah kamu melalui jalan berduri?” Umar menjawab; “Pernah!” Ubay menyambung, “Lalu apa yang kamu lakukan?” Umar menjawab; “Aku berhati-hati, waspada dan penuh keseriusan.” Maka Ubay berkata; “Maka demikian pulalah taqwa!”
Sedang menurut Sayyid Qutub dalam tafsirnya—Fi Zhilal al-Qur`an—taqwa adalah kepekaan hati, kehalusan perasaan, rasa khawatir yang terus menerus dan hati-hati terhadap semua duri atau halangan dalam kehidupan.
Kalau ada suatu iklan minuman ringan: “Dimana saja dan kapan saja …”, maka nasehat Nabi SAW ini menunjukkan bahwa kita harus bertaqwa dimana saja. Sedang perintah taqwa kapan saja terdapat dalam surat Ali Imron 102:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”
Jadi dimanapun dan kapanpun kita harus menjaga ketaqwaan kita. Taqwa dimana saja memang sulit untuk dilakukan dan harus usaha yang dilakukan harus ekstra keras. Akan sangat mudah ketaqwaan itu diraih ketika kita bersama orang lain, tetapi bila tidak ada orang lain maka maksiyat dapat dilaksanakan. Sebagai contoh, ketika kita berkumpul di dalam suatu majelis zikir, pikiran dan pandangan kita akan terjaga dengan baik. Tetapi ketika kita berjalan sendirian di suatu tempat perbelanjaan, maka pikiran dan pandangan kita bisa tidak terjaga. Untuk menjaga ketaqwaan kita dimanapun saja, maka perlunya kita menyadari akan pengawasan Allah SWT baik secara langsung maupun melalui malaikat-Nya.
2 KEBAIKAN YANG MENGHAPUSKAN KESALAHAN
Setiap orang selalu melakukan kesalahan. Hari ini mungkin kita sudah melakukan kesalahan baik yang kita sadari maupun yang tidak kita sadari. Oleh sebab itu, segera setelah kita melaksanakan kesalahan, lakukan kebaikan. Kebaikan tersebut dapat menghapuskan kesalahan yang telah dilakukan.
Untuk dosa yang merugikan diri sendiri, maka salah satu cara untuk menghapusnya adalah dengan bersedekah. Rasulullah SAW bersabda “sedekah itu menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan api”. Maka ada orang yang ketika dia sakit maka dia akan memberikan sedekah agar penyakitnya segera sembuh. Hal ini dikarenakan segala penyakit yang kita miliki itu adalah karena kesalahan yang kita pernah lakukan.
Sedang dosa yang dilakukan terhadap orang lain maka yang perlu dilakukan adalah memohon maaf yang bagi beberapa orang sangat sulit untuk dilakukan. Padahal Rasulullah SAW selalu minta maaf ketika bersalah bahkan terhadap Ibnu Ummi Maktum beliau memeluknya dengan hangat seraya berkata “Inilah orangnya, yang membuat aku ditegur oleh Allah… (QS. Abasa)”. Setelah minta maaf kemudian bawalah sesuatu hadiah atau makanan kepada orang tersebut, maka kesalahan tersebut insya Allah akan dihapuskan.
3- AKHLAQ YANG TERPUJI

Akhlaq terpuji adalah keharusan dari setiap muslim. Tidak memiliki akhlaq tersebut akan dapat mendekatkan seseorang dalam siksaan api neraka. Dari beberapa jenis akhlaq kita terhadap orang lain, yang perlu diperhatikan adalah akhlaq terhadap tetangga.

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan menyakiti tetangganya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah)

Dari Abu Syuraih ra, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: “Demi Allah seseorang tidak beriman, Demi Allah seseorang tidak beriman, Demi Allah seseorang tidak beriman.” Ada yang bertanya: “Siapa itu Ya Rasulullah?” Jawab Nabi: “Yaitu orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari)
Dari hadits tersebut, peringatan Allah sangat keras sampai diulangi tiga kali yaitu tidak termasuk golongan orang beriman bagi tetangganya yang tidak aman dari gangguannya. Maka terkadang kita perlu instropeksi dengan menanyakan kepada tetangga apakah kita mengganggu mereka.
Wallahua’lam bish showab.

Orang yang Pandai

Teringat ketika kita masih kecil, maka orang tua kita sering mendoakan kita menjadi orang yang pandai atau pintar. Memang kepandaian merupakan satu hal yang menjadi tolok ukur kesuksesan seseorang. Tapi apakah kepandaian itu? Mungkin dari kita ada yang menghitung berdasarkan IQ. Tapi kasihan juga orang yang ditakdirkan dilahirkan dengan IQ yang rendah, mereka tidak akan pernah menjadi orang pintar. Bahkan kepintaran dijadikan iklan obat anti masuk angin.
Yang menarik dalam Islam, kepandaian itu dapat diraih oleh setiap orang, walaupun IQ nya tidak tinggi. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:
hadits-pandai
“Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT.” (HR. Imam Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan’)
Jadi ada dua parameter orang yang pandai yaitu orang yang sering bermuhasabah dan melakukan amal untuk persiapan setelah meninggal.
Muhasabah
Muhasabah dari kata hisab yang berarti perhitungan atau melakukan evaluasi. Kesibukan aktifitas kita terkadang melupakan kita untuk mengevaluasi sejauh mana progres aktifitas dan menilik hal apa yang kurang dan perlu diperbaiki. Padahal evaluasi itu perlu dilakukan, agar kita bisa bernafas dan menata ulang kehidupan kita.
Al Quran menyuruh kita untuk muhasabah [QS. Al-Hasyr 18]:
qs-059-018
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Sahabat Umar r.a. berkata:
”Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.”
Pernyataan sahabat Umar r.a. diatas bermakna bahwa semakin sering kita melakukan muhasabah maka semakin lebih sering memperbaiki diri dan semakin ringan hisab di yaumil akhir. Oleh karena itu, muhasabah bisa dilakukan tiap hari, pekanan, bulanan atau tahunan.
Muhasabah tidak hanya bermanfaat untuk akhirat tapi juga untuk kehidupan dunia. Bill Gates, seorang milyuner, selalu menyempatkan untuk beristirahat seminggu atau “think week” dalam enam bulan sekali dari kepenatan di perusahaannya, Microsoft. Dia akan beristirahat disuatu tempat yang sunyi dan membaca buku sekitar 18 jam sehari. Dari kesempatan untuk berkontemplasi tersebut, muncul ide-ide segar dalam pengembangan software.
Beramal untuk Bekal
Selain itu, Rasulullah saw. juga menjelaskan kunci kesuksesan yang kedua, yaitu action after evaluation. Artinya setelah evaluasi harus ada aksi perbaikan. Dan hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya dalam hadits di atas dengan ’dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian.’ Potongan hadits yang terakhir ini diungkapkan Rasulullah saw. langsung setelah penjelasan tentang muhasabah. Karena muhasabah juga tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya tindak lanjut atau perbaikan.
Orang yang pandai bukan hanya bisa bekerja atau mengumpulkan harta, tetapi orang yang juga beramal sholeh untuk hari kemudian. Orang tersebut akan sibuk beraktifitas dan juga berinfaq atau membantu sesama agar mendapatkan pahala di hari akhir. Dalam surat Al Qashash 77, Allah SWT berfirman:
qs-028-077
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.”
Bahkan dalam ayat ini disebutkan keutamaan terhadap bekal di dunia, dengan tidak melupakan kebahagiaan di dunia. Beginilah pola hidup yang patut ditiru sehingga terjadi keseimbangan dalam kehidupan kita agar kebahagiaan di dunia dan akhirat bisa diraih.
Secara ringkas, kepandaian yang hakiki dapat dicapai oleh setiap orang. Kepandaian itu dapat digapai dengan melakukan muhasabah secara berkala dan beramal untuk kehidupan di dunia dan akhirat. Semoga kita mendapatkan petunjuk dari Allah SWT untuk menjadi seorang muslim yang pandai.

Pemahaman Terhadap Agama


Ada 3 hal penting yang sering disebut diperlukan oleh setiap seorang Mukmin yaitu iman, ilmu dan amal. Ketiga hal tersebut saling berkaitan dan harus dimiliki untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Untuk dapat beramal dengan benar, maka seseorang harus memiliki ilmu. Beramal tanpa ilmu akan menimbulkan banyak kerusakan. Sebagai contoh, seseorang yang tidak mengetahui hakikat puasa, maka dia berpuasa hanya menahan haus dan lapar saja, tidak menahan ucapan atau perbuatan keji yang dapat merusak ibadah puasa.
Umar bin Abdul Aziz pernah berkata: “Barang siapa yang beramal tanpa didasari ilmu, maka unsur merusaknya lebih banyak daripada mashlahatnya” (Sirah wa manaqibu Umar bin Abdul Azis, oleh Ibnul Jauzi).
Orang yang ikhlas beramal, tetapi tidak memiliki pemahaman yang benar dapat merusak amalannya dan bahkan dapat memberikan madhorot kepada orang lain. Rasulullah SAW pernah menyampaikan bahwa adalah orang yang sesat padahal mereka melaksanakan sholat, puasa, dan amalan lainnya yang sangat banyak.
Rasulullah SAW bersabda, “(Ada sekelompok kaum), mereka menganggap sholat yang dilakukan oleh kamu sangat kecil bila dibandingkan sholat mereka, dan puasanya dianggap lebih rendah dari puasa mereka. Mereka membaca Al Quran, tetapi tidak melampaui kerongkongan mereka.” (Fathul Bari 6/714).
Imam Ibnu Taimiyah berkata: “Meskipun sholat, puasa dan tilawah Quran mereka banyak, namun mereka keluar dari kelompok ahlus Sunah wal Jamaah. Mereka adalah kaum ahi ibadah, wara’ dan zuhud, tetapi itu semua tidak didasari dengan ilmu.”
Maksudnya mereka beribadah dan membaca Al Quran, tetapi amalan tersebut dilaksanakan hanya sebagai rutinitas, tanpa pemahaman terhadap apa yang dilakukan. Mereka memahami ibadah itu suatu perintah yang harus dilaksanakan tanpa memahami hikmah dibaliknya.
Terkadang pelaksanaan ibadah dibuat untuk rutinitas saja. Ada pelaksanaan sholat Jumat berjamaah dengan khutbah yang berisi nasihat dari beberapa ayat Quran dan doa yang sudah tertulis pada beberapa lembar kertas. Dan cara ini sudah dilakukan bertahun-tahun. Tentu saja sangat disayangkan jamaah yang sholat Jumat di masjid tersebut. Tidak ada nasehat atau taujih yang dapat dipahami dan amal yang dapat dilaksanakan.
Terdapat cerita nyata pada suatu perumahan dimana beberapa ibu rumah tangga terjerat hutang dengan rentenir yang memberikan pinjaman uang dengan bunga yang mencekik. Ternyata para rentenir terebut adalah ibu-ibu yang terlibat aktif dalam pengajian pekanan. Kisah ini menunjukkan bahwa kegiatan pengajian rutin yang dilaksanakan tidak memberikan dampak positif pada aktifitas muamalah yang dilakukan.
Keutamaan seseorang bukan didasarkan pada banyaknya ilmu, hafalan atau amalan, akan tetapi dilihat dari benar dan dalamnya pemahaman terhadap agama Islam secara menyeluruh. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Satu orang faqih itu lebih berat bagi setan daripada seribu ahli ibadah.” HR. Tirmidzi.
Sahabat Umar bin Khathab ra juga pernah berkata, “Kematian seribu ahli ibadah yang selalu sholat di waktu malam dan berpuasa di siang hari itu lebih ringan daripada kematian orang cerdas yang mengetahui halhal yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah.”
Bagusnya pemahaman terhadap agama mengalahkan faktor yang lainnya. Sebagai contoh, khalifah Umar bin Khathab ra pernah mengangkat sahabat Ibnu Abbas ra yang pada saat itu masih berusia 15 tahun untuk menjadi anggota majelis syuro. Umar bin Khathab ra menjulukinya sebagai “pemuda tua” karena ketinggian pemahamannya pada usia yang sangat muda.
Oleh karena itu berusahalah kita mendapatkan pemahaman yang benar terhadap Islam yaitu pemahaman yang jernih, murni, integral dan universal. Hal ini akan menyelamatkan kehidupan kita di dunia dan akhirat. Ibnul Qayyim pernah berkata, “Benarnya kepahaman dan baiknya tujuan merupakan nikmat terbesar yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Tiada nikmat yang lebih utama setelah nikmat Islam melebihi kedua nikmat tersebut. Karena nikmat itulah seseorang memahami Islam dan komitmen pada Islam. Dengannya seorang hamba dapat terhindar dari jalan orang-orang yang dimurkai, yaitu orang yang buruk tujuannya. Juga terhindar dari jalan orang-orang yang sesat, yaitu orang yang buruk pemahamannya, serta akan menjadi orang-orang yang baik tujuan dan pemahamannya.”
Wallahu a’lam.

Tawadhu

TAWADHU


A.  Pengertian Tawadhu
Tawadhu adalah seorang yang mengerti kedudukan dirinya dan menjauhi sifat takabur. Takabur adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia, sebagaimana sabda Nabi saw dalam hadits yang diriwayatkan Muslim bahwa: ”Takabur adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang”. Yakni menolak kebenaran dan merendahkan manusia dalam segala persoalan mereka.
Tawadhu pada asalnya adalah untuk orang besar yang dikhawatirkan merasa besar dalam pandangan matanya sendiri, maka saat itu dikatakan padanya: “Meredahlah, niscaya kau jadi seperti bintang yang nampak di atas permukaan air oleh si pemandang padahal ia tinggi.” Adapun orang biasa, maka tidak dikatakan padanya: “Tawadhulah”, tetapi dikatakan padanya “kenalilah kedudukanmmu, dan jangan letakan ia pada selain tempatnya”.
Dan di antara sikap tawadhu adalah:
  1. 1. Berlaku tawadhu terhadap sahabat-sahabatnya
Sering terjadi, perselisihan yang timbul di antara kawan dan musuh adalah disebabkan karena semangat munafasah (rivalitas) dan tahaasud (saling dengki). Boleh jadi karena seseorang merasa lebih tinggi daripada kawannya. Kadang semangat munafasah atau tahaasud tersebut muncul dalam bentuk rupa: Nasehat, pelurusan dan catatan komentar”. Jika perkara-perkara ini dinamai dengan nama-nama aslinya, niscaya akan dikatakan sebagai “kecemburuan”.
Allah swt telah berfirman:

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,” (QS. Asy-Su’araa : 214)


“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman”. ,” (QS. Asy-Su’araa : 215)
Setelah memerintahkan Nabi Muhammad saw, menghindari kemusyrikan, yang tujuan utamanya adalah semua yang berpotensi disentuh oleh kemusyrikan, kini ayat di atas berpesan lagi kepada beliau bahwa: Hindarilah segala hal yang dapat mengundang murka Allah, dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat tanpa pilih kasih, dan rendahkanlah dirimu yakni lemah lembut dan rendah hatilah terhadap orang-orang yang bersungguh-sungguh mengikutimu, yaitu orang-orang mukmin baik kerabatmu maupun bukan.
Bagi Ibn ‘Asyur ayat ini tertuju kepada nabi Muhammad saw, Ia adalah uraian khusus setelah ayat sebelumnya merupakan urutan umum menyangkut siapa saja. Demikian tulisannya.
Kata ‘asyarah berarti anggota suku yang terdekat. Ia terambil dari kata ‘asyara yang berarti saling bergaul, karena anggota suku yang terdekat adalah keluarga orang-orang yang sehari-hari saling bergaul.
Kata al-aqrabiin yang menyifati kata ‘asirah, merupakan penekanan sekaligus guna mengambil hati mereka sebagai orang-orang dekat dari mereka yang terdekat.
Kata janaah pada mulanya berarti sayap. Pengalan ayat ini mengilustrasikan sikap dan perilaku seseorang seperti halnya seekor burung yang merendahkan sayapnya pada saat ia hendak mendekat dan bercumbu kepada betinanya, atau melindungi anak-anaknya. Sayap terus dikembangkan dengan merendah dan merangkul, serta tidak beranjak meninggalkan tempat dalam keadaan demikian sampai berlalunya bahaya. Dari sini ungkapan itu dipahami dalam arti kerendahan hati, hubungan harmonis dan perlindungan serta ketabahan dan kesabaran bersama kaum beriman, khususnya pada saat-saat sulit dan krisis.
Kata ittaba’aka / mengikutimu yakni dalam melaksanakan tuntunan agama . Ibn ‘Asyur memahami kata ini dalam arti “beriman”, sedang penyebutan kata al-mu’miniin menurutnya adalah untuk menjelaskan mengapa Nabi saw, diperintahkan untuk berendah diri kepada mereka, seakan-akan ayat ini berkata: “Hadapilah mereka dengan kerendahan hati karena keimanan mereka.” Demikian Ibn ‘Asyur.
Az-Zamakhsyari mempertanyakan mengapa kata muminiin dikemukakan lagi padahal telah ada sebelumnya kata “yang mengikutimu”? Bukankah yang mengikuti beliau adalah mukmin dan yang mukmin pasti mengikuti beliau? Pertanyaan itu dijawabnya sendiri dengan dua kemungkinan jawaban. Pertama, yang dimaksud dengan  orang-orang mukmin adalah yang akan beriman. Ayat ini – menurutnya – menamai mereka demikian, karena mereka sedah hampir beriman. Kemungkinan jawaban kedua, orang-orang mukmin dimaksud adalah yang beriman dengan lidahnya. Mereka ini ada dua kelompok, ada yang membenarkan Rasul saw, dan mengikuti ajaran beliau, dan ada juga yang hanya beriman dan membenarkan saja. Kelompok ini ada juga yang fasik. Terhadap keduanya tidak perlu di hadapi dengan kerendahan hati. Demikian Az-Zamakhsyari.
Al-Biqa’i, sebelum menjelaskan pandangannya, terlebih dahulu menggarisbawahi asal dari kata ittaba’aka yaitu tabi’a yang kemudian dibubuhi huruf ta’ yang mengandung makna kesungguhan. Menurutnya penambahan itu, untuk mengeluarkan orang-orang yang belum beriman, atau hanya beriman secara lahiriah, atau lemah imannya dan munafik, dan arena itu – tulis al-Biqa’i – lafadz itu dilanjutkan dengan penjelasan yaitu minal mu’miniin dari orang-orang mukmin yang telah mantap imannya.
Ada kesan lain yang lebih baik, yaitu kesan yang dikemukakan oleh Sayyid Quthub – bukan ketika menafsirkan ayat ini, tetapi ketika menafsirkan QS. Al-A’raaf {7}: 158 yang memerintahkan Nabi Muhammad saw, menyampaikan kepada seluruh manusia bahwa beliau adalah utusan Allah Yang Maha Esa. Ayat ini berlanjut dengan firman-Nya “maka berimanlah kepada Allah dan rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” Ketika menafsirkannya, Sayyid Quthub menggarisbawahi tiga catatan penting. Salah satu di antaranya adalah yang merupakan konsekuensi dari perintah beriman yaitu firman-Nya: “Ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk”. Dengan demikian – tulis ulama yang syahid itu: “Agama ini bukan sekadar akidah yang bersemai di dalam hati, bukan juga sekadar syiar-syiar agama atau ritual, tetapi agama ini adalah ikutan secara sempurna kepada rasulullah saw, menyangkut apa yang beliau sampaikan dari Tuhannya dan apa yang beliau syariatkan dan sunnahkan. Beliau menyampaikan syariat Allah dengan ucapan dan perbuatan beliau.” Agama Islam tidak lain kecuali apa yang digambarkan oleh penggalan terakhir ini ayat: ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk setelah sebelumnya memerintahkan agar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Seandainya agama ini semata-mata hanya akidah saja, maka tentu cukup sudah bila ayat di atas berhenti pada firman-Nya. Fa aaminu billahi wa rusuulihi / maka berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Demikian tulis Sayyid Quthub dengan sedikit penyingkatan.
Ketika ayat ini turun, Rasul saw, naik ke puncak bukit Shafa di Mekah, lalu menyeru keluarga dekat beliau dari keluarga besar ‘Ady dan Fihr yang berinduk pada suku Quraisy. Semua keluarga hadir atau mengirim utusan. Abu lahab pun datang, lalu Nabi saw, bersabda: “Bagaimana pendapat kalian, jika aku berkata bahwa di belakang lembah itu ada pasukan berkuda bermaksud menyerang kalian, apakah kalian mempercayai aku?” Mereka berkata : “Ya, kami belum pernah mendapatkan darimu kecuali kebenaran.” Lalu Nabi bersabda: “Aku menyampaikan kepada kamu semua sebuah peringatan, bahwa di hadapan sana (masa datang) ada siksa yang pedih.” Abu Lahab yang mendengar sabda beliau itu, berteriak kepada Nabi saw, berkata: “Celakalah engkau sepanjang hari, apakah untuk maksud itu engkau mengumpulkan kami?” Maka turunlah surah Tabbat yadaa Abii Lahab” (HR. Bukhari-Muslim, Ahmad dan lain-lain melalui Ibn Abbas)
Riwayat lain mengatakan bahwa ketika itu Nabi saw, bersabda: “Wahai suku Quraisy, tebuslah dari kamu. Aku tidak dapat membantu kamu sedikit pun di hadapan Allah; Wahai Shafiah (saudara perempuan ayah Rasulullah) aku tidak dapat membantumu sedikit pun di hadapan Allah; Wahai ‘Abbaas putra Abdul Muthalib, aku tidak dapat membantumu sedikit pun di hadapan Allah; Wahai Fathimah putri Muhammad, mintalah apa yang engkau kehendaki dari hartaku, aku tidak dapat membantumu sedikit pun di hadapan Allah” (HR. Bukhari, Muslim, An-Nasa’I dan lain-lain melalui Abu Hurairah).
Demikian ayat ini mengajarkan kepada Rasul saw, dan umatnya agar tidak mengenal pilih kasih, atau memberi kemudahan kepada keluarga dalam hal pemberian peringatan. Ini berarti nabi saw, dan keluarga beliau tidak kebal hukum, tidak juga terbebaskan dari kewajiban. Mereka tidak memiliki hak berlebih atas dasar kekerabatan kepada Rasul saw, karena semua adalah hamba Allah, tidak ada perbedaan antara keluarga atau orang lain. Bila ada kelebihan yang berhak mereka peroleh, maka itu disebabkan karena keberhasilan mereka mendekat kepada Allah dan menghiasi diri dengan ilmu serta akhlak yang mulia.

  1. 2. Berlaku tawadhu pada orang yang ada di bawah tingkatanmu
Apabila kamu menemui seseorang yang lebih muda umurnya darimu, atau lebih rendah kedudukannya darimu, maka janganlah kamu meremehkanya. Boleh jadi orang tadi lebih sehat hatinya daripadamu, atau lebih sedikit dosanya daripadamu, atau lebih besar taqarubnya kepada Allah daripadamu.
Bahkan sekiranya kamu melihat seorang fasik dari kamu kelihatan lebih shaleh daripadanya, maka janganlah kamu berlaku sombong terhadapnya. Pujilah Allah lantaran Dia telah menyelamatkanmu dari ujian yang Dia berikan padanya, dan hendaknya kamu senantiasa ingat bahwa boleh jadi dalam amal-amal shalehnu terdapat unsur riya dan ujub yang bisa menghapuskannya, atau boleh jadi pada diri pendosa tersebut terdapat rasa penyesalan. Perasaan remuk redam dan ketakutan terhadap dosa-dosanya, yang bisa menjadi  sebab diampunkannya dosa-dosanya.
Dari Jundab ra, bahwa rasulullah saw, bersabda: “Ada seorang lelaki yang berkata: “Demi Allah, Alah tidak akan mengampuni si fulan” Lantas Allah ta’ala berfirman: “Siapa gerangan yang berani bersumpah atas nama-Ku kalau Aku tidak akan mengampuni si fulan? Sesungguhnya Aku ampuni si fulan dan Aku hapuskan amal-amal  (baik)mu.
Jadi kamu jangan bersikap sombong terhadap seseorang, bahkan sekiranya kamu melihat orang fasik, maka kamu jangan merasa lebih tinggi darinya, atau kamu mempergaulinya dengan sikap seorang yang sombong.
Allah swt, telah berfirman:


“Janganlah sekali-kali kamu menujukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Hjr: 88)

Boleh jadi apa yang ditegaskan oleh ayat yang lalu tentang tujuan penciptaan langit dan bumi, menimbulkan pertanyaan: mengapa kaum musyrikin dapat bergelimang dalam kenikmatan hidup, padahal mereka mendurhakai Allah? Mengapa mereka yang telah diancam oleh Allah, masih dibiarkan dan diulur dengan aneka kenikmatan? Nah, ayat ini menjawab pertanyaan yang timbul dalam benak itu. Demikian Thahir Ibn Asyur. Dan itu pula sebabnya – tulisnya lebih jauh – ayat ini tidak menggunakan kata wa / dan sebelum kata laa tanuddanna karena jika didahului oleh dan – sebagaimana dalam QS. Thaha [20]: 131 walaa tamuddanna – maka ia sekedar sebagai larangan yang tidak mempunyai hubungan dengan ayat sebelumnya.
Dapat juga dikatakan bahwa karena apa yang telah dianugrahkan oleh Allah kepada Nabi Muhamad saw, begitu juga apa yang dianugrahkan –Nya kepada beliau sedemikian besar, maka sangat wajar jika beliau diingatkan agar janganlah sekali-kali engkau mengarahkan matamu yakni jangan memberi perhatian yang besar serta tergiur kepada apa yang dengannya kami telah senangkan untuk sementara lagi cepat berlalunya untuk golongan-golongan di antara mereka orang-orang kafir itu, karena apa yang mereka peroleh dan cara penggunaannya adalah batil dan bukan “haq”, dan janganlah engkau bersedih hati terhadap mereka karena keengganan mereka beriman, atau akibat jatuhnya siksa atas mereka dan kesudahan buruk yang akan mereka alami. Adapun terhadap sesama kaum beriman, maka jalinlah hubungan harmonis dengan mereka dan rendahkanlah sayapmu yakni bersikap rendah hatilah kepada orang-orang mukmin. Dan katakanlah kepada mereka yang durhaka itu bahkan kepada semua orang bahwa ”Aku tidak akan bersedih dan marah karena orang-orang kafir menolak ajaran yang kusampaikan, karena sesungguhnya aku hanyalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada siapa pun yang durhaka atau tenggelam dalam kenikmatan duniawi dengan melupakan akhiratnya.” Pesan ayat ini harus dipahami sejalan dengan firman-Nya dalam QS. Al-Qashash [28]: 77: “Carilah melalui apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan jangan lupakan nasibmu dari (kenikmatan) dunia, serta berbuat baiklah karena Allah telah berbuat kepadamu.”
Kata tamuddanna terambil dari kata madda yang berarti memperpanjang atau menambah. Memang mata tidak dapat diperpanjang tetapi dia dapat diarahkan karena kata ini di sini berarti mengarahkan.
Kata azwaaj adalah bentuk jamak zauj yang berarti pasangan. Pasangan adalah satu yang menggenapakan dua hal berbeda tetapi keberpasangan menjadikannya menyatu dalam fungsi dan tujuan. Yang dimaksud adalah pasangan-pasangan kekufuran, khususnya tokoh-tokohnya. Mereka, walaupun berbeda-beda, tetapi menyatu dalam kedurhakaan kepada Allah swt. Ada juga yang memahami kata tersebut dalam arti pasangan suami istri. Memang kenikmatan akan semakin sempurna jika kehidupan duniawi dinikmati oleh sepasang pria dan wanita, tetapi sekali lagi hanya keikmatan semu bila tdak disertai oleh haq.
Kata janaah pada mulanya berarti sayap. Pengalan ayat ini mengilustrasikan sikap dan perilaku seseorang seperti halnya seekor burung yang merendahkan sayapnya pada saat ia hendak mendekat dan bercumbu kepada betinanya, atau melindungi anak-anaknya. Sayap terus dikembangkan dengan merendah dan merangkul, serta tidak beranjak meninggalkan tempat dalam keadaan demikian sampai berlalunya bahaya. Dari sini ungkapan itu dipahami dalam arti kerendahan hati, hubungan harmonis dan perlindungan serta ketabahan dan kesabaran bersama kaum beriman, khususnya pada saat-saat sulit dan krisis. Al-Quran yang dianugrahkan itu, serta sikap tidak tergiur oleh kenikmatan duniawi sebagaimana halnya orang durhaka, merupakan bekal yang sangat berharga untuk melaksanakan tuntunan Allah swt, di atas antara lain memberi pemaafan yang baik kepada kaum pendurhaka itu.
Kata ana / aku setelah sebelumnya telah disebut kata innii yang bermakna sesungguhnya aku, mengandung makna pengkhususan yakni aku hanyalah – tidak lebih dari itu – dan karena Rasul saw, juga tidak hanya berfungsi sebagai pemberi peringatan, tetapi juga pemberi kabar gembira, maka pemberi peringatan yang dimaksud tertuju hanya kepada para pendurhaka saja.
  1. 3. Jangan sampai amalmu nampak besar dalam pandangan matamu, apabila kamu berbuat kebaikan, atau kamu melakukan taqarrub kepada Allah dengan satu ketaatan, sebab bisa jadi amal kebaikan tersebut tidak diterima
Dan di antara sikap tawdhu adalah kamu mau mendengar nasehat, karena syetan akan menghasutmu untuk menolaknya dan berprasangka buruk terhadap si pemberi nasehat. Oleh karena makna nasehat adalah saudaramu mengatakan padamu: “Sesungguhnya pada dirimu ada aib begini dan begitu”. Adapun orang yang dilindungi Allah maka bila ada yang menasehatinya dan menunujukan aib-aibnya, maka dia akan menundukkan nafsyunya, menerima nasehatnya, mendo’akannya dan berteriama kasih kepadanya.
Jadi orang sombong adalah orang yang merasa dirinya besar, hampir-hampir tak mau memuji seseorang atau menyebut kebaikannya. Dan jika terpaksa harus menyebut kebaikan orang, maka dia membubuinya dengan menyampaikan sebagian dari aib-aib kekurangannya. Adapun jika dia mendengar orang lain menyebut sebagian dari aibnya, maka mana mungkin, mana mungkin dia mau kembali segera atau bersikap lunak. Sikap yang demikian itu adalah dikarenakan perasaan rendah dirinya. Maka dari itu, termasuk di antara kesempurnaan pribadi manusia adalah dia menerima kritik dan komentar tanpa rasa cemas atau perasaan malu dan rendah diri. Inilah dia Amirul Mu’miniin ‘Umar bin Khatab, mengusung bendera dan meninggikan syi’ar: “Semoga Allah merahmati seseorang yang mau menunjukan aib kekuranganku.”
Allah swt, telah berfirman:

“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Tuhanmu.” (QS. Al-Israa: 37-38)
Al-Biqa’i menekankan tanggung jawab pendengaran, penglihatan dan hati yang disebut oleh ayat yang lalu terutama dalam penggunaannya sebagai alat-alat ilmu pengetahuan, dari sini pakar hubungan antar ayat ini berpendapat bahwa ayat 37 ini menampilkan larangan angkuh, karena keangkuhan merupakan aral yang paling besar dalam memperoleh ilmu yang mengantar kepada kebajikan serta penyakit parah yang melahirkan kebodohan sehingga mengantar pelakunya menuju kejahatan.
Anda juga dapat berkata bahwa setiap larangan yang disebut dalam kelompok ayat-ayat ini saling berhubungan. Ia dihubungkan oleh keadaannya sebagai keburukkan yang dipraktekkan dalam masyarakat jahiliah, sehingga satu demi satu disinggung silih berganti.
Allah swt, berfirman melanjutkan larangan-larangan yang lalu bahwa: Dan janganlah engkau – siapa pun engkau – berjalan di muka bumi ini dengan penuh kegembiraan yakni kegembiraan yang menghasilkan keangkuhan dan menjadikanmu merasa yang terbesar. Itu hanya dapat engkau lakukan jika engkau benar-benar dapat hidup sendiri tanpa bantuan siapa dan apapun, padahal tidak satu makhluk pun dapat menjadi demikian. Sungguh engkau adalah makhluk lemah, karena sesungguhnya meskipun engkau berusaha sekuat tenaga dan menyombongkan diri  sebesar apapun engkau yakni kakimu sekali-kali tidak dapat menembus bumi walau sekeras apapun hentakannya dan meskipun engkau telah merasa setinggi apapun sekali-kali engkau yakni kepalamu tidak akan sampai setinggi gunung. Nah, jika demikian, mengapa engkau sombong? Semua itu yakni hal-hal terlarang yang disebut sebelum ini adalah keburukan yang kejahatannya amat dibenci di sisi Tuhanmu yang selama ini selalu berbuat baik kepadamu, sehingga seharusnya engkau mensyukurinya dan mengindahkan tuntunan-Nya.
Thabaathabaa’i memahami ayat 37 di atas dalam arti kiasan, yakni kesombongan yang engkau lakukan untuk menampakkan kekuasaan dan kekuatanmu pada hakikatnya adalah hanya waham dan ilusi, sebab sebenarnya ada yang lebih kuat dari engkau yakni bumi, terbukti kakimu tidak dapat menembus bumi, dan ada juga yang lebih tinggi darimu yakni gunung, buktinya engkau tidak setinggi gunung. Maka akuilah bahwa engkau sebenarnya rendah lagi hina. Tidak ada sesuatu yang dikehendaki dan diperebutkan manusia dalam hidup ini seperti kerajaan, kekuasaan, kemuliaan, harta benda dan lain-lain kecuali hal-hal yang bersifat waham yang tidak mempunyai hakikat di luar batas pengetahuan manusia.. Itu semua diciptakan dan ditundukkan Allah untuk diandalkan manusia guna memakmurkan bumi dan penyempurnaan kalimat (ketetapan) Allah. Tanpa hal yang tidak memiliki hakikat itu, manusia tidak hidup di dunia, dan kalimat Allah yang menyatakan: “Bagi kamu ada tempat kediaman sementara di bumi dan matha (Kesenangan hidup) sampai waktu yang ditentukan” (QS. Al-Baqarah [2] : 36). Demikian lebih kurang Thabaathabaa’i.
Firman-Nya kullu dzaalikai dipahami oleh sementara ulama sebagai mencakup dua puluh lima tuntunan. 1) jangan menjadikan bersama Allah tujuan yang lain. 2) Dan Tuhanmu telah menetapkan supaya jangan menyembah selain Dia. Penggalan ini menyangkut dua tuntunan, pertama mengesakan Allah dan kedua melarang mempersekutukan-Nya. 3) Dan hendaknya (kamu berbakti) kepada ibu-bapak. 4) Janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” 5) Janganlah kamu membentak keduanya 6) ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia. 7) Rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua. 8) Ucapkanlah: “Tuhanku! Kasihilah keduanya. 9) Berikanlah kepada keluarga yang dekat akan haknya. 10) Juga berikan kepada orang miskin. 11) Dan kepada yang dalam perjalanan. 12) jangan menghambur secara boros. 13) Katakanlah ucapan yang mudah. 14) Jangan jadikan tanganmu terbelenggu. 15) Jangan terlalu mengulurkannya. 16) Jangan membunuh anak-anakmu. 17) Jangan mendekati zina. 18) Jangan membunuh jiwa. 19) Jangan melampaui batas dalam membunuh. 20) Janganlah kamu mendekati harta anak yatim. 21) Sempurnakan janji. 22) Sempurnakan timbangan. 23) Timbanglah dengan adil. 24) Jangan mengikuti apa yang tiada bagimu pengetahuan. 25) Jangan berjalan di bumi dengan sombong. Semua yang disebut di atas adalah  tuntunan yang pelanggarannya merupakan keburukan yang dibenci oleh Allah swt.

Rahasia Syukur, Sabar, dan Istighfar


Dalam mukaddimah kitab Al Waabilush Shayyib, Imam Ibnul Qayyim mengulas tiga hal di atas dengan sangat mengagumkan. Beliau mengatakan bahwa kehidupan manusia berputar pada tiga poros: Syukur, Sabar, dan Istighfar. Seseorang takkan lepas dari salah satu dari tiga keadaan:
1- Ia mendapat curahan nikmat yang tak terhingga dari Allah, dan inilah mengharuskannya untuk bersyukur. Syukur memiliki tiga rukun, yang bila ketiganya diamalkan, berarti seorang hamba dianggap telah mewujudkan hakikat syukur tersebut, meski kuantitasnya masih jauh dari ‘cukup’. Ketiga rukun tersebut adalah: a- Mengakui dalam hati bahwa nikmat tersebut dari Allah. b-Mengucapkannya dengan lisan. c-Menggunakan kenikmatan tersebut untuk menggapai ridha Allah, karena Dia-lah yang memberikannya.
Inilah rukun-rukun syukur yang mesti dipenuhi
2- Atau, boleh jadi Allah mengujinya dengan berbagai ujian, dan kewajiban hamba saat itu ialah bersabar. Definisi sabar itu sendiri meliputi tiga hal: a-Menahan hati dari perasaan marah, kesal, dan dongkol terhadap ketentuan Allah. b-Menahan lisan dari berkeluh kesah dan menggerutu akan takdir Allah. c-Menahan anggota badan dari bermaksiat seperti menampar wajah, menyobek pakaian, (atau membanting pintu, piring) dan perbuatan lain yang menunjukkan sikap ‘tidak terima’ thd keputusan Allah.
Perlu kita pahami bahwa Allah menguji hamba-Nya bukan karena Dia ingin membinasakan si hamba, namun untuk mengetes sejauh mana penghambaan kita terhadap-Nya. Kalaulah Allah mewajibkan sejumlah peribadatan (yaitu hal-hal yang menjadikan kita sebagai abdi/budak-nya Allah) saat kita dalam kondisi lapang; maka Allah juga mewajibkan sejumlah peribadatan kala kita dalam kondisi sempit.
Banyak orang yang ringan untuk melakukan peribadatan tipe pertama, karena biasanya hal tersebut selaras dengan keinginannya. Akan tetapi yang lebih penting dan utama adalah peribadatan tipe kedua, yang sering kali tidak selaras dengan keinginan yang bersangkutan.
Ibnul Qayyim lantas mencontohkan bahwa berwudhu di musim panas menggunakan air dingin; mempergauli isteri cantik yang dicintai, memberi nafkah kepada anak-isteri saat banyak duit; adalah ibadah. Demikian pula berwudhu dengan sempurna dengan air dingin di musim dingin dan menafkahi anak-isteri saat kondisi ekonomi terjepit, juga termasuk ibadah; tapi nilainya begitu jauh antara ibadah tipe pertama dengan ibadah tipe kedua. Yang kedua jauh lebih bernilai dibandingkan yang pertama, karena itulah ibadah yang sesungguhnya, yang membuktikan penghambaan seorang hamba kepada Khaliqnya.
Oleh sebab itu, Allah berjanji akan mencukupi hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman Allah,
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ
Bukankah Allah-lah yang mencukupi (segala kebutuhan) hamba-Nya?” (QS. Az Zumar: 36).
Tingkat kecukupan tersebut tentulah berbanding lurus dengan tingkat penghambaan masing-masing hamba. Makin tinggi ia memperbudak dirinya demi kesenangan Allah yang konsekuensinya harus mengorbankan kesenangan pribadinya, maka makin tinggi pula kadar pencukupan yang Allah berikan kepadanya. Akibatnya, sang hamba akan senantiasa dicukupi oleh Allah dan termasuk dalam golongan yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:
إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ وَكَفَى بِرَبِّكَ وَكِيلًا
(Sesungguhnya, engkau (Iblis) tidak memiliki kekuasaan atas hamba-hamba-Ku, dan cukuplah Rabb-mu (Hai Muhammad) sebagai wakil (penolong)” (QS. Al Isra’: 65).
Hamba-hamba yang dimaksud dalam ayat ini adalah hamba yang mendapatkan pencukupan dari Allah dalam ayat sebelumnya, yaitu mereka yang benar-benar menghambakan dirinya kepada Allah, baik dalam kondisi menyenangkan maupun menyusahkan. Inilah hamba-hamba yang terjaga dari gangguan syaithan, alias syaithan tidak bisa menguasai mereka dan menyeret mereka kepada makarnya, kecuali saat hamba tersebut lengah saja.
Sebab bagaimana pun juga, setiap manusia tidak akan bebas 100% dari gangguan syaithan selama dia adalah manusia. Ia pasti akan termakan bisikan syaithan suatu ketika. Namun bedanya, orang yang benar-benar merealisasikan ‘ubudiyyah (peribadatan) kepada Allah hanya akan terganggu oleh syaithan di saat dirinya lengah saja, yakni saat dirinya tidak bisa menolak gangguan tersebut… saat itulah dia termakan hasutan syaithan dan melakukan pelanggaran.
dengan demikian, ia akan beralih ke kondisi berikutnya:
3- Yaitu begitu ia melakukan dosa, segera lah ia memohon ampun (beristighfar) kepada Allah. Ini merupakan solusi luar biasa saat seorang hamba terjerumus dalam dosa. Bila ia hamba yang bertakwa, ia akan selalu terbayang oleh dosanya, hingga dosa yang dilakukan tadi justeru berdampak positif terhadapnya di kemudian hari. Ibnul Qayyim lantas menukil ucapan Syaikhul Islam Abu Isma’il Al Harawi yang mengatakan bahwa konon para salaf mengatakan: “Seseorang mungkin melakukan suatu dosa, yang karenanya ia masuk Jannah; dan ia mungkin melakukan ketaatan, yang karenanya ia masuk Neraka”. Bagaimana kok begitu? Bila ALlah menghendaki kebaikan atas seseorang, Allah akan menjadikannya terjerumus dalam suatu dosa (padahal sebelumnya ia seorang yang shalih dan gemar beramal shalih). Dosa tersebut akan selalu terbayang di depan matanya, mengusik jiwanya, mengganggu tidurnya dan membuatnya selalu gelisah. Ia takut bahwa semua keshalihannya tadi akan sia-sia karena dosa tersebut, hingga dengan demikian ia menjadi takluk di hadapan Allah, takut kepada-Nya, mengharap rahmat dan maghfirah-Nya, serta bertaubat kepada-Nya. Nah, akibat dosa yang satu tadi, ia terhindar dari penyakit ‘ujub (kagum) terhadap keshalihannya selama ini, yang boleh jadi akan membinasakan dirinya, dan tersebab itulah ia akan masuk Jannah.
Namun sebaliknya orang yang melakukan suatu amalan besar, ia bisa jadi akan celaka akibat amalnya tersebut. Yakni bila ia merasa kagum dengan dirinya yang bisa beramal ‘shalih’ seperti itu. Nah, kekaguman ini akan membatalkan amalnya dan menjadikannya ‘lupa diri’. Maka bila Allah tidak mengujinya dengan suatu dosa yang mendorongnya untuk taubat, niscaya orang ini akan celaka dan masuk Neraka.
Demikian kurang lebih penuturan beliau dalam mukaddimah kitab tadi, semoga kita terinspirasi dengan tulisan yang bersahaja ini.
DALAM sebuah buku yang berjudul “Jihad al-Nafs” karya Ayatullah Mazhahiri (Beirut: Al-Mahijjah Al-Baidha, 1993, hal. 69-70) diceritakan bahwa pada masa Rasulullah SAW, ada seorang istri sholihah yang memiliki anak kecil yang sakit.
Ketika suaminya bekerja di tempat jauh, anaknya itu wafat. Istri itu duduk dan menangisi kepergian anaknya itu. Tiba-tiba ia berhenti menangis dan sadar bahwa sebentar lagi suaminya pulang ke rumah. Ia bergumam, jika saya menangis terus di samping jenazah anakku ini, kehidupan tidak akan dikembalikan kepadanya dan akan melukai perasaan suamiku. Padahal ia pulang dalam keadaan lelah. Ia cepat-cepat meletakkan anaknya yang wafat itu pada suatu tempat.
Datanglah suaminya itu dari tempat kerjanya. Sang istri pun menyambutnya dengan senyum dan penuh kasih sayang. Ia sediakan makanan kesukaannya dan membasuh kaki suaminya itu.
”Mana anak kita yang sakit?” tanya suami. Istrinya menjawab, “Alhamdulillah ia sudah lebih baik.” Sang istri mengajak suaminya untuk tidur hingga terbangun menjelang waktu subuh. Sang suami bangun, mandi, dan shalat sunah. Saat suami akan berangkat ke mesjid untuk shalat shubuh berjamaah, istrinya berkata dengan tenang, “Suamiku aku ingin menyampaikan sesuatu padamu”.
“Silahkan, sebutkan,” kata suaminya. Sang istri pun berkata, “Jika ada yang menitipkan amanat kepada kita, lalu pada saatnya diambil dari kita, bagaimana pendapatmu jika amanat itu kita tahan dan kita tidak mau memberikan kepadanya?”
“Itu perbuatan paling akhlak yang buruk dan bisa disebut khianat dalam beramal. Itu merupakan perbuatan yang sangat tercela. Kita wajib mengembalikan amanat itu kepada pemiliknya bila dminta,” jawab suaminya.
“Sudah tiga tahun, Allah menitipkan amanat kepada kita. Hari kemarin, dengan kehendak-Nya, Allah mengambil amanat itu dari kita. Anak kita sekarang wafat. Ia ada di kamar sebelah. Sekarang berangkatlah engkau dan lakukanlah shalat,” timpah sang Istri.
Suami itu melihat anaknya dan kemudian pergi ke masjid untuk shalat berjamaah di masjid Nabi. Seusai suami itu mengkabarkan kematian anaknya. Nabi Muhammad SAW langsung mendekatinya seraya berkata, “Diberkatilah malam kamu yang tadi itu. Malam ketika suami istri bersabar dalam menghadapi musibah”.
Begitulah seharusnya menyikapi ujian. Yakni dengan bersabar dan tawakal kepada Allah. Namun tidak semua orang bisa memiliki kecerdasan emosional yang tinggi seperti pasangan tersebut.
Arti Sabar
Definisi sabar menurut sufi ternama Dzun-nun Al-Mishri, “Sabar ialah menajuhi perselisihan, bersikap tenang dalam menghadapi cobaan yang menyesakkan hati, dan menampakkan rasa kecukupan ketika ditimpa kesusahan dalam kehidupan”. Sedikit berbeda dengan Ar-Raghib Al-Ashfihani, yang mengatakan bahwa sabar memiliki makna yang berbeda sesuai dengan konteks kejadiannya. Menahan diri saat ditimpa musibah dinamakan shabr (sabar), sedangkan lawan katanya jaza’ (gelisah, cemas, risau), menahan diri dalam peperangan dinamakan syaja’ah (keberanian) dan lawan katanya jubn (pengecut, lari dari peperangan), menahan diri dari kata-kata kasar disebut kitman (diam) dan lawan katanya ihdzar/hadzar (mengecam, marah). Namun secara umum, semua yang berkaitan dengan menahan biasanya dikategorikan sabar.

Keutamaan Sabar
Mengenai sabar, Allah SWT berfirman
يها الذين ءامنوا اصبروا ورابطواواتقواالله لعلكم تفلحونيا
“wahai sekalian orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu sekalian dan teguhkanlah kesabaranmu itu dan tetaplah bersiap siaga” (Q.S. Ali Imran : 200).
Ayat ini memerintahkan untuk bersabar dalam menjalani ketaatan ketika mengalami musibah, menahan diri dari maksiat dengan jalan beribadah dan berjuang melawan kekufuran, serta bersiap siaga penuh untuk berjihad di jalan Allah SWT.Dalam Al-Quran
انما يوفى الصبرون اجهرهم بغير حساب
"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahalanya tanpa batas” (Q.S. Az-Zumar:10).
Tentang ayat ini, Sayyidina Ali bin Abu Thalib menerangkan, setiap orang yang mencapai derajat muthi’ (orang yang taat), kelak akan ditimbang amalnya dengan timbangan atau takaran. Berbeda dengan orang yang berderajat shabir (orang yang sabar), mereka ini mengeruk pahala laksana mengeruk debu yang tidak terhitung jumlahnya.
Sungguh luar biasa derajat orang sabar. Selain mendapatkan pahala yang besar, juga dikatakan sebagai bagian dari iman. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Imam Ad-Dailami dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
الصبر نصف الايمان
“Kesabaran adalah setengah dari iman”.
Begitulah keutamaan dan pentingnya bersabar, termasuk dalam menjalankannya. Insya Allah, setiap kali kita bersabar atas sesuatu yang tidak kita kehendaki dan bersabar atas apa yang belum kita kehendaki, pasti berbuah pahala dan hikmah yang tak ternilai.

Pengertian Dan Macam-macam Sabar

PENGERTIAN SABAR

Sabar berasal dari kata “صبر  -  يصبر yang artinya menahan. Dan menurut istilah para ulama anta lain :
¤     Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah
 “Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah”
Dari pendapat di atass dapat ditarik kesimpulan bahwa sabar adalah “menahan diri dari kesusahan dan menyikapinya sesuai syariah dan akal, menjaga lisan dari celaan, dan menahan anggota badan dari berbuat dosa dan sebagainya”.
Itulah pengertian sabar yang harus kita tanamkan dalam diri kita. Dan sabar ini tidak identik dengan cobaan saja. Karena menahan diri untuk tidak bersikap berlebihan, atau menahan diri dari pemborosan harta bagi yang mampu juga merupakan bagian dari sabar. Sabar harus kita terapkan dalam setiap aspek kehidupan kita. Bukan hanya ketika kita dalam kesulitan, tapi ketika dalam kemudahaan dan kesenangan juga kita harus tetap menjadikan sabar sebagai aspek kehidupan kita.

MACAM-MACAM SABAR

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:
1.      ‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌‌Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah SWT
Menahan diri kita agar tetap istiqomah dalam menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT adalah bagian dari perintah Allah SWT. Kita harus tetap sabar menjalankan itu semua, karena Allah telah menjanjikan surga bagi hamba-Nya yang menjalankan perintah-Nya dengan baik sesuai syariat yang telah Allah SWT turunkan. Mulai dari shalat, zakat, puasa, dakwah, dan lain-lain. Itu semua harus kita jalani dengan sabar.
2.      Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah SWT
Tenar sekali salah satu lagu yang dinyanyikan oleh Raja Dangdut H.Rhoma Irama dimana ada sebagian liriknya yang berbunyi “mengapa semua yang asik-asik, itu diharamkan? mengapa semua yang enak-enak itu dilarang?” karena semua itu adalah memang godaan setan yang merayu kita dengan kenikmatan-kenikmatan dunyawi. Semua kenikmatan itu hanya semua, karena jalan yang ditunjukan oleh setan itu tidaklah berakhir kecuali di neraka. Dan kita sebagi umat Islam harus bersabar dari apa yang dilarang oleh Allah SWT. Yakinlah bahwa semua larangan itu pasti ada maksudnya. Tidaklah Allah SWT melarang kita untuk berbuat dosa, kecuali dalam dosa itu pasti ada sebuah kerugian yang akan didapat jika kita melakukannya.
3.      Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah SWT
Jika ada salah satu dari kita ditakdirkan dengan kondisi fisik yang kurang, maka kita juga harus tetap bersabar. Karena bersabar dengan ketentuan Allah SWT merupakan salah satu dari macam sabar. Dan balasan lain dari sabar kita itu adalah surga. Rasulallah SAW bersabda: sesungguhnya Allah SWT berfirman “Jika hambaku diuji dengan kedua matanya dan dia bersabar, maka Aku akan mengganti kedua matanya dengan surga” (HR. Bukhori).
Semoga Allah SWT menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang sabar dalam menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan dari apa yang telah ditakdirkan-Nya. Dan kita harus tetap melatih sifat sabar ini dalam kehidupan kita sehingga nantinya kita akan dapat menyikapi semua aspek hidup ini dengan sabar.
Sabar menahan cobaan memang bukan hal yang mudah, tapi itu juga bukan sebuah hal yang mustahil. Kedudukan orang-orang yang sabar di mata Allah SWT sangat tinggi. Kita bisa mengambil pelajaran dari sauri tauldan kita Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah seorang penyabar, dikisahkan setelah Rasulullah wafat – Abu bakar RA mendatangi seorang pengemis Yahudi buta dan memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abubakar RA mulai mnyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, “Siapakah kamu?” Abubakar RA menjawab, “Aku orang yang biasa datang”. “Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku,”jawab si pengemis buta itu. “Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya, setelah itu ia berikan padaku dengan mulutnya sendiri”. Abubakar tidak dapat menahan airmatanya, ia menangis sambil berkata dengan pengemis itu, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW”. Setelah pengemis itu mendengar cerita Abubakar RA ia pun menangis dan kemudian berkata, “Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidah pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia”. Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyhadat dihadapan Abubakar RA.
Siapa yang tidak terketuk hatinya dengan kisah ini. Kita bisa melihat dari kisah diatas bagaimana Rasullah SAW begitu sabarnya dalam berdakwah dan menghadapi pengemis Yahudi itu. Walaupun Beliau disakiti dengan hinaan, fitnah, dll. Tapi Beliau tetap menunjukan kemulian akhlaknya. Dan kita sebagai umat Islam dan pengikutnya, jelaslah harus mengikuti akhlak Beliau. Dan Allah SWT juga telah memrintahkan kepada kita untuk sabar di dalam firman-Nya “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’,” (QS. Al-Baqarah:45). Dalam ayat ini kata “Sabar” digandengkan dengan “shalat”, dan kita mengetahui bahwa shalat itu hukumnya wajib. Dan jika ada dua kata perintah dalam satu konteks ini maka dalam hal ini sabar juga merupakan suatu hal yang wajib. Allah SWT mewajibkan kita bersabar dalam ayat ini.
Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.”
Sahabat Indonesia yang kualitas hatinya menentukan kualitas rejekinya, berikut adalah resume dari acara Mario Teguh Golden Ways MetroTV, edisi 22 Agustus 2010, dengan Topik “Sabar Sampai Kapan?“. Kesabaran adalah masalah hati tetapi solusi kesabaran dapat ditemukan dalam jalan2 yang terang. Dalam bahasan ini kita akan mempelajari bagaimana membangun kesabaran yang tidak lagi bertentangan dengan rasa hormat kepada diri kita; tetapi melalui cara pandang yang logis, sehingga kita menjadi pribadi yang sabar karena tujuannya jelas.
Kesabaran bukanlah sebuah sifat tetapi sebuah keputusan karena pengertian yang baik,  sebetulnya tidak ada orang yang punya sifat sabar.
Kesabaran adalah pengertian yang dibutuhkan untuk bersikap baik, selama menunggu hasil dari upaya kita. Pengertiannya karena upaya itu membutuhkan waktu untuk baik, membutuhkan do’a untuk dijawab, maka kita bersabar.
Bahwa dalam membangun kesabaran ada yang harus ditunggu, dan yang paling sering berhasil dalam proses menunggu adalah yang sibuk. Maka sibuk-lah dalam menunggu, karena semua orang sedang menunggu, dan yang paling akhir adalah menunggu kematian.Maka jadilah pribadi yang sibuk dalam menunggu supaya hasil yang didapat sesuai.Kesabaran ini tidak akan lengkap tanpa definisi berikutnya. Dalam menghadapi sebuah kesulitan, menjadikan yang tadinya sulit menjadi mudah.Contoh sederhana, jika ada rotan dan ada akar yang lebih dahulu dipakai tentunya rotan, tetapi jika tidak ada rotan maka akarlah yang dipakai.Ingatlah janji Tuhan “Bersama setiap kesulitan, datang kemudahan”, tetapi kita manusiawi sekali untuk hanya memperhatikan kesulitan.Sehingga orang yang ramah terhadap kehidupan melihat kehidupan ini seharusnya mudah, karena tidak ada niatan Tuhan menyulitkan Kita.Jadi kalau ada kesulitan itu kita seharusnya senang, karena bersamanya ada kemudahan hanya saja kita belum lihat. Jadi kalau datang sebuah kesulitan segera palingkan wajah anda untuk melihat kemudahannya.Jadi kalau kita ikhlas, Tuhan itu memberikan kita kesulitan supaya hidup kita mudah.Setiap orang pasti menginginkan sesuatu, tetapi belum tentu setiap orang berkeinginan besar dan mempunyai rencana besar; karena banyak sekali orang tidak tahu mau jadi apa.Tuhan memiliki rencana bagi setiap jiwa dan setan sangat bersemangat menggagalkan jiwa muda yang dilahirkan dengan rencana besar. Untuk itu  setan meniupkan rasa malas ke hati anda sehingga anda gemar menunda dan ahli mengatakan tidak mungkin. Lalu bersahabat dan bergaul dengan sesama pemalas.Berapa banyak orang tua yang seharusnya sekarnag menjadi pejabat tinggi, pemuka masyarakat, yang berpengaruh tetapi memboroskan waktu hidupnya semasa muda dan sekarang menyesal. Dan berapa banyak anak muda yang meniru cara yang sama, sekarang.Semakin buruknya masalah yang mengganggu anda, menunjukan semakin besarnya rencana Tuhan bagi anda. Semakin anda direncanakan jadi orang besar, maka semakin besar pula kekuatan setan untuk menganggu anda.Pada dasarnya semua orang pemalas, tetapi yang bisa berhasil adalah yang tetap bekerja walaupun dia malas.Tidak boleh kita memaksakan sesuatu yang harusnya terjadi karena proses yang panjang dan baik, sekarang. Kita marah tentang kehidupan, karena kita minta yang seharusnya dicapai dengan proses yang baik, tetapi hasilnya sekarang. Orang yang tidak punya pilihan harus bersabar kepada satu2nya pilihan. Kalau anda tidak suka dengan satu pilihan, jadilah pribadi yang pilihannya banyak.Orang berabar itu harus cerdik, bukan masalah sifat tetapi masalah keputusan tentang pengertian yang baik.Ada yang dinamakan istilah Jangkar Prilaku, jadi semua pengertian yang baru kita terima seyogyanya segera ditransfer dalam bentuk tindakan.Orang yang pengetiannya dalam bentuk tindakan tidak lagi harus menghafal. Sehingga pikirannya terbuka luas bagi pengertian-pengertian baru.Orang yang kurang bertindak, kapasitas pikirannya cepat habis, orang yang banyak betindak dan menjadikan pengetian sebagai prilaku kesehariannya, ia tidak lagi banyak berfikir.Orang yang menjadikan do’a-do’anya sebagai prilakunya, tidak banyak lagi dia harus berdo’a karena kehidupannya adalah do’a. Sehingga dia tidak lagi melafalkan do’a secara formal tetapi berharapan besar untuk bisa membantu orang yang kekurangan, maka langsung diberikan kesempatan untuk  berejeki baik, bagi sedekah yang lebih besar.
Jika anda bertemu orang, selalu temukan cara supaya orang itu menyukai dirinya sendiri. Jika anda menemukan cara terhadap orang lain untuk melihat dirinya berdiri dibawah sinar yang lebih terang, anda akan dicintai orang, anda akan dilibatkan dalam pergaulan2 baik, anda akan lebih dicintai istri anda.
Maka mulai dari sekarang, lihatlah setiap orang sebagai target penggembiraan. Dan tanpa sadar kita membangun kekuatan diluar diri kita,untuk membantu kita menjadi pribadi yang gembira.
Kalau anda mengeluh tentang lambannya kehidupan, maka cek yang anda kerjakan. Apakah keinginan anda besar tetapi yang anda lakukan kecil?, Jika jawabannya ‘ya’ maka anda sulit bersabar.
Inginkan yang besar, perhatikan orang lain bagaimana mencapai kebesaran, ikhlaslah rayakan kehebatan orang lain, jangan dengki orang berhasil.
Iri itu bahaya, karena membuat kita dengki orang kaya, padahal tidak semua orang kaya, kaya dengan ketidak-jujuran.
Salah satu cara untuk mengenali diri dan kemudian tubuh adalah mengakui kehebatan orang lain. Dengannya kita lebih ikhlas melihat diri sebagai pribadi yang harus belajar.
Jadi kalau yang kita inginkan besar, maka tertariklah kepada orang2 yang berhasil melakukan hal2 yang besar; lalu tiru-lah dia. Meniru sesuatu sesuatu yang baik, membuat yang lemah dalam kehidupan kita lemah. Sehingga jika kita bersabar, kita bersabar dalam perjalanan naik. Bukan bersabar menyesuaikan diri dengan kelemahan.
Semua keberhasilan terbaik anda datang setelah kekecewaan yang anda hadapi dengan sabar. Jika kita sudah jujur, sudah bekerja keras, sudah patuh sama Tuhan tetapi belum berhasil, tidak ada cara lain kecuali bersabar.
Kita akan bersabar selama kesabaran dibutuhkan, sampai kapanpun tidak ada batasnya.
Tuhan berjanji “Bersama kesulitan ada kemudahan” dan janji itu diulang dua kali. Marilah kita membiasakan diri untuk menerima kesulitan dengan damai, lalu menjernihkan pikiran untuk melihat kemudahan yang datang bersama kesulitan.
Kapanpun kesulitan itu datang kepada anda, upayakanlah untuk mencari hal2 yang sekarang menjadi mudah bagi anda. Lalu perhatikan apa yang terjadi.
Rasulullah saw bersabda,"Demi Allah, saya tidak takut dengan kemiskinan kalian, akan tetapi saya takut jikalau dunia menjadi lapang bagi kalian sebagaimana umat sebelum kalian sehingga mereka saling memperebutkannya."
Gejala inilah yang nampak di tengah-tengah masyarakat kita. Sebuah pola hidup baru bagi sebuah masyarakat agraris. Gotong royong lambat laun pupus oleh egoisme individu yang berkembang. Kejujuran hilang ditutupi dengan kebohongan. Persaudaraan sulit ditemukan kecuali di dalamnya terdapat uang. Kesombongan menggeser sifat lugu, sopan, dan ketawadhuan. Perubahan cara pandang ini selanjutnya mengubah gaya hidup masyarakat.

Akan tetapi, jika masyarakat kita tidak berusaha untuk mencari kekayaan duniawi ini, masyarakat kita akan menjadi masyarakat bawah yang lemah dan mudah diombang-ambingkan. Rasulullah saw bersabda, "Seorang mukmin yang kuat lebih dicintai oleh Allah dari pada seorang mukmin yang lemah."  Dengan logika sederhana pun, seseorang pasti akan membenarkan hadits ini. Logika ini membentuk sebuah asumsi, jika umat ini ingin menjadi besar sudah saatnya meninggalkan idealismenya menuju pada hal-hal yang pragmatis. Kita harus membangun rumah sakit, lembaga pendidikan, panti asuhan, dan lembaga-lembaga lain yang memiliki tujuan membantu kehidupan umat. Untuk melaksanakan hal tersebut tidak mungkin terlaksana dengan finansial yang lemah. Beranjak dari pemikiran ini, manakah yang lebih baik antara orang miskin yang sabar dengan orang kaya yang bersyukur? Seorang idealis mungkin akan memilih poin pertama, sebaliknya orang yang pragmatis akan memilih poin yang kedua. Pertanyaan ini terlihat sederhana, tetapi tidak mudah untuk menjawabnya. Bahkan, para ulama telah berselisih pendapat mengenai hal ini. Abu Ishaq bin Syaqilan, Qadhi Abu Ya'la, dan para pengikutnya mengatakan bahwa orang miskin yang bersabar itu lebih baik. Sebaliknya, Ibnu Qutaibah dan jamaahnya berpendapat bahwa orang kaya yang bersyukur lebih baik. Jika kita runut ke belakang, kita akan temukan orang-orang miskin yang sabar, bahkan yang berpredikat nabi sekalipun. Mereka adalah Isa bin Maryam as, Yahya bin Zakaria as, Ali bin Abi Thalib, Abi Dzar Al-Ghifari, Mush'ab bin Umair, dan Salman AI-Farisi. Sedangkan orang-orang kaya yang bersyukur, di antaranya Ibrahim as, Ayub as, Dawud as, Sulaiman as, Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah, Zubeir, Sa'ad bin Muadz ra, dan masih banyak lagi. Lalu mana yang paling baik?Kalau kebenaran kita sandarkan hanya kepada akal, jawaban tersebut tidak akan ditemukan. Tetapi jika standar kebenaran adalah Al-Qur`an, jawaban tersebut sangat jelas. Allah SWT berfirman :
يايها الناس انا جلقناكم من ذكر وانثى وجعلنا كم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقاكم ان الله عليم خبير
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian" (QS Al-Hujurat: 13).
Lalu, seperti apa takwa yang diinginkan Islam? Kalau kita kembali runut dalam Al-Qur'an jawabannya akan semakin terlihat. Allah SWT berfirman :
فتقو الله فرضا حسنا يضعفه ويغفر لكم والله شكر حليم
"Maka bertakwalah sesuai kadar kemampuan kalian." (QS At-Taghabun: 16)

Artinya, stressing point dari lafal "takwa" adalah proses, dalam hal ini adalah usaha. Yakni, usaha seorang hamba untuk menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (QS AI-Hasr: 7).
Artinya, kebaikan bukan terletak pada kaya-miskinnya, tetapi lebih pada syukur dan sabarnya. Bertolak dari hal ini maka kita akan temukan golongan ketiga yang sangat sulit untuk dicari pada zaman ini. Golongan ini mendapat dua predikat sekaligus; miskin dan kaya. Karena kesederhanaannya golongan ini terlihat miskin, di sisi lain merupakan golongan orang yang berada dengan pendapatan yang melimpah. Dia adalah Nabi kita Muhammad saw. Wallahu a'lam.